Praktek dan Makna Maca Syekh


PANDEGLANG (17/04)

PRAKTEK DAN MAKNA WAWACAN/MACA SYEKH (BAGIAN II)


PANDEGLANG, Pada Bagian Pertama, telah dibahas tentang kebiasaan masyarakat di Banten, yang dipergunakan sebagai sample oleh Ruby Ach. Baedhawy dalam menyusun Laporan Akhir Penelitiannya. Di Bagian ini akan dijelaskan tentang Praktek dan Makna dari Wawacan / Maca Syekh.

Setiap Kamis malam setelah isya, H. Sanwani (50 tahun) selama dua tahun ini mempunyai acara rutin dengan memanggil Supian (57 tahun) untuk membaca manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani. Kegiatan yang oleh masyarakat Gunung Kaler disebut maca seh. Kegiatan ini lakukan oleh H. Sanwani sebagai bentuk dukungan psikologis terhadapnya agar ia terus dapat membiayai anaknya yang sedang menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Kedokteran pada salah satu universitas swasta di Lampung. Baginya, memiliki seorang anak yang sedang menuntut ilmu di daerah yang cukup jauh dan menghabiskan banyak biaya, merupakan tantangan berat dalam hidupnya. Meskipun ia dikenal sebagai orang kaya di desanya karena memiliki tanah pertanian yang luas.

Kegiatan maca seh juga dilakukan oleh Rohani (40 tahun) ketika ia mengikuti acara pemilihan Kepala Desa di Cipaeh. Rohani memanggil beberapa orang untuk membaca manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani di rumahnya pada setiap malam Jum’at. Meskipun ia mengaku bahwa praktek pembacaan manaqib ini hanya mengikuti tradisi yang ada di masyarakat, tetapi ia memiliki harapan bahwa pencalonannya sebagai kepala desa tidak mendapat gangguan atau rintangan. “Kita mah ngejaluk slamet doang, dudu kanggo apa-apa”, tegas Rohani ketika ditanya tentang tujuan menyelenggarakan kegiatan tersebut.

Kegiatan maca seh sudah sering dilakukan oleh H. Sanwani, Rohani dan banyak keluarga di kecamatan Gunung Kaler dan Baros setiap kali mengadakan acara slametan untuk siklus kehidupan seseorang, seperti tujuh bulanan, khitanan dan pernikahan. Selain itu, kegiatan seperti ini ia lakukan setiap kali sedang atau akan melakukan pekerjaan berat seperti; pergi naik haji, mendirikan rumah dan membiayai anak sekolah (pendidikan). Bahkan H. Sanwani pernah memerintahkan keluarganya untuk mengadakan maca seh sebanyak tujuh puluh kali setiap malam Jum’at pada saat ia dan isterinya menunaikan ibadah haji beberapa tahun yang lalu. Kegiatan maca seh, tidak hanya ia lakukan pada saat ia menghadapi kesulitan tetapi juga pada saat mendapat kebahagian dan kenikmatan seperti akan menempati rumah baru, mendapat kendaraan baru atau lulus ujian sekolah maupun kuliah. Kegiatan seperti ini dinamakan pula dengan syukuran.

Tradisi maca seh, bagi H. Sanwani dan mayoritas masyarakat di Kecamatan Gunung Kaler memiliki makna sendiri dalam menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan hidup. Mereka memiliki keyakinan bahwa menyelenggarakan maca seh di rumahnya akan mendatangkan keberkahan dan keselamatan. Karena itu mereka secara rutin menyelenggarakan acara maca seh setiap kali akan menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan. Pada umumnya, acara maca seh merupakan bagian dari acara slametan, seperti acara khitanan, pernikahan, mengisi rumah baru, akan menempuh perjalanan jauh atau mendapat mobil (kendaraan) baru. Meskipun tradisi tersebut semakin jarang dilakukan orang-orang yang hidup di perkotaan, tetapi bagi masyarakat di pedesaan acara maca seh merupakan bagian tak terpisahkan dari ritual kehidupan mereka.

Tradisi penyelenggaraan acara maca seh merupakan pantulan pola keberagamaan sebagian masyarakat Banten. Acara tersebut merupakan cerminan pola keberagamaan dan pola kehidupan sosial sebagian masyarakat Banten yang menyakini adanya jalinan yang erat antara kehidupan mistis dan kehidupan sosial. Karena itu pada acara tersebut, kaum kerabat, sanak keluarga, handai taulan, rekan kerja, arwah-arwah saudara yang telah meninggal, arwah-arwah dari makhluk lainnya, arwah-arwah orang yang dipandang mulia dan dihormati, semuanya duduk bersama menghadiri atau dihadirkan untuk menjalin ikatan dalam suatu kelompok sosial tertentu yang diwajibkan untuk saling tolong menolong dan bekerja sama.

Pola kehidupan yang demikian itu meletakan otoritas terletak pada orang-orang suci yang dianggap mempunyai kedekatan dengan pemilik otoritas mutlak, penguasa alam semesta, Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena titik tekan pola keberagamaan adalah menjalin komunikasi secara bathin dengan para arwah-arwah suci. Para ulama dan wali menjadi sumber-sumber otoritas dalam menata kehidupan sosial. Otoritas tersebut dimiliki oleh para wali tidak hanya ketika ia masih hidup, tetapi juga setelah ia meninggal dunia. Para arwah wali tersebut diyakini masih memiliki otoritas/kekuasaan dalam mempengaruhi jalannya kehidupan sosial masyarakat saat ini.

Acara maca seh tidak hanya bersifat spiritual dan pribadi, tetapi juga bermakna sosial. Karena itu acara ini diselenggarakan tidak bersifat privat yang tertutup tetapi lebih bersifat terbuka dengan mengundang masyarakat sekitar. Yang menjadi pertimbangan utama dalam undangan untuk menghadiri acara maca seh bersifat teritorial, yakni jauh dan dekat tempat tinggal yang bersangkutan dari rumah penyelenggara, bukan berdasarkan status sosial atau aliran politik yang dianut warga. Acara maca seh tersebut biasanya juga memakai pengeras suara yang bisa terdengar beberapa ratus meter dari tempat acara berlangsung.

Karena itu penyelenggaraan maca seh berinflikasi secara psikologis dan sosial. Kepercayaan bahwa dengan menyelenggarakan maca seh, yang bersangkutan akan terlindungi dari setiap bahaya atau hal yang merugikan dalam menempuh kehidupan, mendatangkan ketenangan bathin bagi penyelenggara sehingga ia bisa berpikir positif dalam menunaikan pekerjaan yang akan atau sedang dilakukan. Sedangkan secara sosial, penyelenggaraan maca seh merupakan salah satu sarana pertemuan bagi warga yang tempatnya berdekatan sehingga mendorong terjadi integrasi sosial dan mengurangi konflik sosial. Hal ini pada akhirnya akan menumbuhkan keseimbangan secara emosional bagi individu dan mendorong terjadi harmoni sosial yang kokoh dalam kehidupan keseharian warga.

Pembacaan manaqib memang sangat erat dengan kehidupan pedesaan yang menekankan pada harmoni sosial dan berusaha untuk mengeliminir setiap bentuk perbedaan atau persaingan yang akan menimbulkan konflik sosial secara terbuka. Pola keberagamaan masyarakat pedesaan yang lebih bersifat mistis dan simbolik juga menjadi daya dorong bagi masyarakat desa untuk melestarikan tradisi pembacaan manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jaelani.

Karena itu tradisi tersebut jarang dilakukan oleh masyarakat yang hidup di perkotaan. Masyarakat perkotaan yang cenderung individualis, mentolelir perbedaan dan mendorong persaingan dalam hidup, menganggap praktek pembacaan manaqib kurang efisien sebagai mekanisme integrasi sosial. Pola keberagamaan yang lebih menekankan pada rasionalitas dari pada perasaan (mistis dan simbolik), praktek pembacaan manaqib tidak sesuai dengan kecenderungannya. Masyarakat kota yang modern yang menekankan pada rasionalitas dan kemandirian individu, pola keberagamaan bersifat skriptualis, yakni meletakan otoritas menata kehidupan pada teks-teks suci (kitab suci) yang dipandang sebagai cerminan kehendak pemilik otoritas mutlak, Allah SWT, penguasa alam semesta ini. Karena itu mereka memandang bahwa praktek pembacaan manaqib sebagai penyimpangan (bid’ah) yang dilarang oleh agama, karena dipandang telah mengkultuskan seseorang dengan memberikan otoritas untuk memberi legitimasi dalam kehidupan, baik secara spiritual maupun sosial.

——————————————–

Pola Wawacan Syehk

Pada umumnya acara maca seh berlangsung pada malam hari, meskipun tidak jarang dilakukan pada pagi atau siang hari. Sebelum acara maca seh, tuan rumah harus menyediakan semacam “sesajen’. Karena itu H. Sanwani mesti menyediakan semacam “sesajen” yang menjadi persyaratan pembacaan manaqib itu dapat berlangsung dengan aman setiap kali ia akan menyelenggarakan acara tersebut. Sesajen yang harus ia sediakan adalah: kopi pahit, kopi manis, kembang tujuh macam, kue tujuh macam yang dikenal dengan istilah perwanten, beberapa batang rokok, kemenyan, bak kecil yang berisi air dan uang logam. Kewajiban tuan rumah untuk menyediakan “sesajen” secara lengkap dibenarkan oleh Supyan (57 tahun), pelaku pembaca manaqib, yang sering dimintai oleh warga untuk membaca manaqib seh di rumahnya. Menurutnya ketidaklengkapan sesajen yang disediakan pada saat maca seh akan mengakibatkan adanya gangguan ketika acara sedang berlangsung. Supyan bercerita bahwa pada suatu saat tuan rumah tidak menyediakan “sesajen” secara lengkap seperti yang selama ini sudah ditentukan, maka di tengah acara maca seh itu pengeras suara (speaker) jatuh berulang-ulang. Ia menyakini bahwa kejadian jatuhnya pengeras suara itu diakibatkan oleh kurang lengkapnya sesajian yang disediakan oleh tuan rumah. Karena itu, menurutnya, ketidaklengkapan sesajen akan membawa bahaya bagi penyelenggara maca seh.

Selain menyediakan “sesajen” sebagai syarat untuk maca seh, H. Sanwani juga mesti menyediakan minuman seperti kopi dan air teh, makanan, buah-buahan dan rokok bagi para undangan atau tamu yang hadir pada acara tersebut. Para tamu undangan tersebut pada umumnya adalah tetangga yang berdekatan dengan rumahnya. Makanan dan minuman tersebut disajikan di tengah-tengah para tamu yang hadir yang duduk melingkar di dalam ruang. Sehingga tiap-tiap orang dapat menjangkau makanan dan minuman yang disediakan selama acara maca seh berlangsung.

Pada setiap acara maca seh ada beberapa tahap yang mesti dilaksanakan agar acara itu berlangsung dengan tertib.1 Pertama, menyampaikan maksud dan tujuan acara. Kedua, bertawasul. Ketiga, pembacaan teks manaqib. Tahap-tahap tersebut biasanya dilakukan setiap kali penyelengaraan maca seh. Adapun rincian dari masing-masing tahapan acara itu adalah sebagai berikut.

——————————————–

Mengungkapkan tujuan

Setelah para tamu yang diundang memenuhi ruangan yang disediakan, acara maca seh dibuka dengan sambutan singkat dari tuan rumah atau yang mewakilinya dan biasanya masih ada hubungan kerabat dengan penyelenggara. Pada sambutan yang singkat tersebut, setelah mengucapkan salam, tuan rumah atau yang mewakilinya mengucapkan terima kasih kepada para tamu atas kehadirannya pada acara yang sedang dilaksanakan. Setelah itu tuan rumah mengutarakan maksud dan tujuan dari penyelengaraan acara maca seh tersebut dan memohon dukungan serta do’a kepada tamu undangan demi kesuksesan kegiatan yang sedang atau akan berlangsung. Sebelum mengakhiri sambutan singkatnya, tuan rumah memohon maaf kepada para hadirin, apabila dijumpai ada kekurangan dalam perjamuan dan kekurangsopanan dalam penyambutan.

Acara inti dari sambutan singkat tersebut adalah menuturkan maksud dan tujuan penyelenggaraan acara maca seh. Hal ini dimaksud untuk meminta dukungan moral dan emosional dari para tamu dan warga sekitar terhadap rencana kerja yang dilakukan oleh tuan rumah. Abudin (30 tahun), salah seorang warga Pagelaran, Kabupaten Pandeglang, akan melangsungkan slametan acara khitanan bagi anak laki-lakinya. Sebelum acara khitanan itu berlangsung, satu hari sebelumnya, ia menyelenggarakan acara maca seh. Pada kesempatan itu ia menuturkan maksud dan tujuan acara yang diselengarakannya di depan para tamu undangan yang telah hadir, bahwa ia bermaksud akan mengadakan acara khitanan anaknya yang kini telah berusia 5 tahun. Ucapan Abudin secara implisit meminta dukungan dari kaum kerabat dan warga sekitarnya tentang kegiatan yang akan ia laksanakan, sehingga acara dapat berlangsung dengan lancar tanpa adanya gangguan.

Kata-kata standar yang sering diucapkan tuan rumah atau yang mewakilinya adalah, “mudah-mudahan, semoga, moga-moga”. Kata-kata tersebut semuanya menyiratkan suatu harapan akan keberhasilan dari usaha atau pekerjaan yang akan atau sedang dilaksanakan. Setelah itu, ia memohon kepada hadirin restu dan do’anya, agar usaha atau pekerjaan yang akan ia laksanakan bisa berlangsung dengan lancar.

——————————————–

Wasilah dan Tawasul

Salah satu bagian penting dalam acara maca seh adalah pembacaan wasilah (tawasul). Hal tersebut merupakan bagian penting dan senantiasa dilakukan pada setiap akan dilaksanakan acara maca seh, agar kehendak, tujuan dan maksud orang yang menyelengarakan acara mendapat dukungan dan pertolongan dari para arwah-arwah orang terdahulu yang dipandang suci dan mulia. Para arwah tersebut diyakini memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kehidupan manusia di dunia ini. Pada hakikatnya, para arwah tersebut, tidak memiliki otoritas penuh tetapi berkat kesucian jiwa yang dimilikinya, maka ia memiliki kedekatan dengan sumber otoritas mutlak, yakni Allah SWT. Karena arwah-arwah orang tersebut memiliki karomah (kemulian) yang disalurkan kepada manusia yang ada di bumi ini.

Wasilah secara etimologis bermakna perantara atau menyambungkan kepada sesuatu dengan senang hati (al-tawwasul ila al-syai’ bi ragbatin) 2 Karena itu wasilah juga bermakna mendekatkan diri atau mengharapkan sesuatu.3 Sedangkan secara terminologis, para ulama memberikan defenisi yang berbeda-beda. Perbedaan itu merupakan cerminan dari perbedaan dalam orientasi dan pola keberagamaan.

Ulama yang berorientasi skripturalis mendefenisikan wasilah lebih bersifat etis, yakni perbuatan atau amal yang dikerjakan dan dipersembahkan oleh orang mukmin karena mengharapkan sesuatu dengan cara membuat perantara (media, sarana) sehingga ia memperoleh apa yang diharapkan dan apa yang dicari. Dalam konteks ini, makna wasilah adalah beribadah mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan amal saleh karena mengharapkan bisa dekat dengan-Nya dan berusaha mendapatkan kemuliaan dan kedudukan di sisi-Nya, atau agar terpenuhinya kebutuhan dengan memperoleh pertolongan atau terhindar dari bahaya. Menurut kelompok ulama ini, kata wasilah yang terdapat pada surat al-Maidah:35 dan al-Isra:57, adalah bermakna demikian bukan yang lainnya. Dengan demikian maksud dari makna wasilah yang terdapat dalam al-Qur’an itu adalah dengan iman dan amal shaleh seperti: shalat, puasa, sedekah, membaca al-Qur’an, dan lain-lainnya yang dipandang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Karena itu berwasilah (tawasul) dengan menyebut orang-orang tertentu, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam yang benar, karena itu hukumnya haram, karena dipandang bid’ah dan mencederai doktrin tauhid.

Sedangkan para ulama memiliki orientasi dan pola keberagamaan mistis, terutama dari kalangan ahli sufi (tarekat), mendefenisikan wasilah tidak hanya terbatas kepada iman dan amal shaleh saja tetapi juga berupa perantara-perantara yang mampu memberikan syafa’at/pertolongan kepada seseorang atas izin Allah SWT. Perantara-perantara yang dimaksud adalah orang-orang yang dipandang mempunyai kedekatan dengan Allah karena ketakwaannya, seperti para Nabi, para Wali dan orang-orang yang shaleh. Mereka mendasarkan argumentasinya kepada beberapa hadits nabi, seperti:

Artinya: dari Anas bin Malik r.a bahwa Nabi Muhammad saw berkata (dalam suatu do’a): Ya, Allah ampunilah Fatimah binti Asad dan lapangkanlah tempat masuknya (ke kubur) dengan hak nabiMu dan nabi-nabi sebelum aku. Sesungguhnya Engkau yang paling penyayang dari sekalian penyayang. (H.R. Thabrani).

Berdasarkan hadits tersebut, menurut kelompok ini, bahwa tawasul dengan orang-orang shaleh yang telah meninggal dunia itu dibolehkan, seperti yang telah ditegaskan dalam hadits di atas.7

Dalam acara maca seh, membaca wasilah atau tawassul kepada para arwah orang tua, para ulama dan guru sufi terutama Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani, para sahabat Nabi SAW, bahkan Nabi Muhammad Saw sendiri yang menempati urutan pertama, merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan. Tawassul ini berfungsi sebagai perantara untuk meminta bantuan perlindungan dirinya kepada Allah dari segala mara bahaya.

Menurut ulama dari kelompok ini, yakni yang membolehkan tawassul atau wasilah, Allah itu ibarat seorang raja, kalau seorang rakyat jelata ingin menyampaikan keinginannya maka ia mesti melalui orang-orang dekat dan kepercayannya, sehingga permintaannya bisa terkabulkan. Demikian pula dengan Allah, menurut kelompok ini tidak semua orang, terutama orang-orang yang biasa yang banyak melakukan perbuatan dosa, bisa berdo’a kepada Allah dan do’anya didengar atau dikabulkan. Supaya do’anya itu dikabulkan maka ia meminta bantuan orang-orang yang selama ini dianggap dekat dengan Allah karena kesucian jiwanya, yakni para Nabi dan Wali, untuk menyampaikan permohonannya tersebut kepada Allah SWT. Hal itu, menurutnya, sesuatu yang wajar dan biasa. Apalagi mengenai permasalahan bathiniah, yakni sesuatu yang sangat rumit dan musykil, maka meminta pertolongan Allah dengan melalui para hambanya yang saleh menjadi sesuatu yang dianggap suatu keharusan.

Bertawasul bukanlah ditujukan kepada orang yang bersangkutan, tetapi pada para arwahnya. Bertawasul biasanya adalah pemberian al-Fatihah kepada para arwah yang dipercayai bisa menghubungkan yang bersangkutan dengan pemilik kekuasaan di alam ini, yakni Allah Swt. Adapun rangkaian para arwah yang sering diberi hadiah al-Fatihah dalam acara maca seh adalah sebagai berikut:

  1. Nabi Muhammad Saw, anak-anaknya, para sahabatnya, isteri-isterinya dan para keturunannya.
  2. Para Rasul dan Nabi-nabi Allah, para malaikat, para syuhada, orang-orang sholeh dan para sahabatnya yang selalu menemani mereka.
  3. Para imam pendiri madzhab yang empat dan para pengikutnya, para ulama besar yang suci dan terbimbing di seluruh dunia.
  4. Para pendiri dan guru-guru Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah serta para pengkikut seluruh tarekat, khususnya kepada sultan para wali, sumbu dunia, Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani, Syaikh Abu al-Qasim Junaid al-Baghdadi, Syaikh Ma’ruf al-Karkhi, Syaikh Sirr al-Saqati, Syaikh Habib al-Ajami, Syaikh Hasan al-Basri, Syaikh Ja’far al-Sadiq, Syaikh Yusuf al-Hamdani, Syaikh Abu Yazid al-Bustami, Syaikh Bahauddin al-Naqshabandi, Imam al-Rabbani, Syaikh Abdullah Mubarrak bin Nur Muhammad, para keturunan dan kerabatnya dan orang-orang yang termasuk dalam silsilah tarekat mereka.
  5. Para orang tua kita, guru-guru kita, kaum kerabat.
  6. Orang-orang mu’min dan muslim di seluruh dunia, khususnya kepada …….

Menurut penuturan beberapa pembaca manaqib, seperti Supian dan Misra, bahwa pembacaan wasilah tidaklah seketat yang dikemukan dalam tradisi tarekat. Pembacaan wasilah itu yang utama biasanya hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW. dan Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani. Bertawasul kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani, seperti dituturkan dalam manaqib, diyakini memiliki beberapa keuntungan, yakni akan tercapai segala keinginannya. Hal ini seperti ditegaskan dalam salah satu episode manaqib.

Dicarioskeun ku guru-guru anu laluhung, saha-saha anu nyebut jenengan Sayyid Abdul Qadir henteu boga wudhu maka eta jalma ku gusti Allah dirupekken rizqina. Sareng saha-saha anu nadir hadiah ka Sayyid Abdul Qadir eta kudu dilakonan supaya ulah kasebut jalma bedegong matak kawalat. Sareng saha-saha jalma anu ngahadiahkeun amis-amis dina malem Jum’at teras maca fatehah dihadiahkeun ka Sayyid Abdul Qadir teras kadaharanana dibagikeun ka fakir miskin sarta eta jalma nyuhunkeun syafaat sareng karamatana Sayyid Abdul Qadir dina ngahasilkeun maksudna tantu eta jalma meunang pirang-pirang pertulungan ti gusti Allah kalawan karomatana Sayyid Abdul Qadir. Sareng saha-saha anu maca fatihah rek dahar tuluy dihadiahkeun ka Sayyid Abdul Qadir tantu eta jalma dibukakaeun dikaluarkeun tina kasusahan dunya akherat. Saha-saha jalma anu nyebut jenengan Sayyid Abdul Qadir bari boga wudhu tur ikhlas anu sampurna ngagungkeun ka anjeuna maka eta jalma ku gusti Allah dibungahkeun dina eta poe serta dilabur dosana.

Tentang pentingnya pembacaan wasilah atau tawasul dalam acara maca seh tidak bisa dilepaskan dari tradisi tarekat. Semua aliran tarekat mengenal wasilah, mediasi melalui seorang pembimbing spiritual (mursyid) sebagai sesuatu yang sangat diperlukan demi kemajuan spiritual. Untuk dapat sampai kepada perjumpaan dengan Yang Mutlak, seseorang tidak hanya memerlukan bimbingan tetapi campur tangan aktif dari pihak pembimbing spiritualnya dan para pendahulu sang pembimbing, termasuk yang paling penting, Nabi Muhamad SAW. Ini arti dari wasilah, ia menunjukan rantai yang menghubungkan seseorang dengan Nabi Muhamad SAW. dan melalui beliau sampai ke Allah. Dalam setiap orang atau beberapa orang diberi hadiah pembacaan surah al-Fatihah. Banyaknya pembacaan surah al-Fatihah disesuaikan dengan kebutuhan. Dalam Tarekat Rifa’iyah, pembacaan al-Fatihah dilakukan sebanyak 17 kali sesuai dengan jumlah orang yang dianggap paling patut untuk dibacakan al-Fatihah. Namun demikian ada versi lain yang hanya lima kali.

Dalam Tarekat Naqsabandiyah, pemahaman silsilah yang demikian telah membawa tarekat ini pada pemakaian teknik yang disebut rabithah mursyid, yakni “mengadakan hubungan bathin dengan sang guru”, sebagai pendahuluan dzikir. Meskipun rabithah syaikh ini diamalkan bervariasi di satu tempat dan di tempat lain, tetapi mencakup penghadiran sang guru oleh murid.

Praktek penghadiran sang guru oleh murid dilakukan dengan cara konsentrasi membayangkan sosok guru dan semua wali yang ada dalam silsilahnya. Kemudian masuklah sang guru dan para wali yang ada dalam silsilah tersebut ke dalam hati sang murid, yang ketika itu menyebutkan “Allah, Allah”, mulai berdzikir atas nama Allah tanpa ia sadari.

Biasanya, sang murid melakukan rabithah kepada guru yang telah membai’atnya, tidak kepada syaikh yang lebih awal. Namun, ada beberapa aliran tarekat, seperti Khalidiyah, yang menuntut agar semua muridnya, bukan saja hanya muridnya sendiri tetapi juga murid khalifahnya dan seterusnya, senantiasa melakukan rabithah hanya dengannya seorang.

Dalam melakukan amalan tradisi debus pun, wasilah merupakan suatu keharusan. Praktek wasilah yang dilakukan dalam amalan debus pun persis sama dengan yang dilakukan pada tradisi tarekat. Pembacaan wasilah ini selain berfungsi untuk menunjukan silsilah keilmuan, juga merupakan upaya untuk meminta pertolongan kepada para syaikh terdahulu untuk disampaikan maksudnya kepada Allah SWT.

Praktek debus pun mengenal rabithah syaikh. Dalam melakukan rabithah syaikh ini, seorang murid menghadirkan gurunya. Namun berbeda dengan tradisi tarekat yang berfungsi untuk membimbing sang murid dalam melakukan dzikir kepada Allah untuk mendapatkan pencerahan atau suatu pengalaman spiritual. Dalam debus, rabithah syaikh dimaksudkan untuk membantu sang murid dalam melakukan suatu perbuatan-perbuatan yang luar biasa, sesuai dengan kehendak sang murid, seperti menghilangkan luka bacok dan sebagainya.

Dalam tradisi debus selain melakukan rabithah syaikh, juga dikenal melakukan sambatan (nyambat), yakni meminta bantuan dari makhluk yang lain, seperti jin atau yang lainnya, sehingga mampu melakukan perbuatan-perbuatan seperti macan, monyet atau makhluk lainya. Selain itu dikenal juga hadiran, yakni menghadirkan sosok tertentu, terutama macan, untuk membantu dalam melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak sang pelaku.

——————————————–

Pembacaan Manaqib

Acara inti maca seh adalah pembacaan isi manaqib oleh ahlinya. Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jaelani berisi tentang cerita perjalanan hidupnya dan kejadian-kejadian luar biasa yang dialaminya. Hal-hal tersebut dipandang sebagai tanda atau simbol bahwa ia memiliki keistimewaan (karomah) yang berasal dari Allah. Karena itu Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani dipandang sebagai puncak para wali Allah, sultan para wali, yang kedudukannya hanya satu tingkat di bawah Nabi Muhammad Saw.

Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa ditemukan beberapa versi tentang jumlah hikayat dalam manaqib dari yang paling sederhana yakni hikayat sampai ke 53 hikayah. Setiap hikayah memiliki tema yang berbeda. Berikut ini adalah 53 episode yang dimuat dalam Tijan al-Jawahir fi Manaqib al-Sayyid Abd al-Qadir yang disalin oleh H. Muhamad Juwaeni bin Haji Abd al-Rahman dari Parakan Salak, Cianjur. Manaqib tersebut merupakan terjemahan berbahasa Sunda yang disadur dari Tafrikh al-Khatir karangan al-Dhahabi dan Uqud al-La’ali.

Adapun tema manaqib pada setiap episodenya adalah:

  1. Kisah tentang nasab (asal usul dan keturunan) Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani
  2. Kisah tentang kelahiran Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani
  3. Kisah tentang masa belajar Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani
  4. Kisah tentang budi pekerti Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani
  5. Kisah tentang pakaian dan makanan Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani ketika menjadi santri
  6. Kisah pertemuan Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani dengan Nabi Hidir
  7. Kisah tentang peribadatan Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani
  8. Kisah tentang dasar-dasar perbuatan Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani
  9. Kisah penampilan Sayid Abdul Qadir memberikan ceramah kepada manusia di atas kursi
  10. Kisah tentang perkumpulan seratus ulama Baghdad di tempat Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani yang membahas tentang berbagai masalah
  11. Kisah tentang telapak kaki Nabi Muhamad yang menginjak pundak Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani
  12. Kisah tentang kesaksian guru-guru sufi dan para wali tentang ketinggian martabat Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani
  13. Kisah tentang tercelanya orang yang menyebut Sayid Abdul Qadir tanpa punya wudlu
  14. Kisah tentang orang-orang yang memberi hadiah (bertawasul) kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani akan tercapai maksudnya
  15. Kisah tentang nama-nama agung Sayid Abdul Qadir
  16. Kisah tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani menghidupkan orang yang sudah meninggal dari alam kubur
  17. Kisah tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani merebut nyawa pembantunya dari malaikat maut
  18. Kisah tentang kemampuan Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani dalam merubah anak perempuan jadi anak laki-laki
  19. Kisah tentang keselamatan (masuk surga) seorang fasik karena kecintaannya kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani
  20. Kisah tentang kematian seekor burung yang terbang melewati Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani
  21. Kisah tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani menghidupkan seekor elang (alap-alap)
  22. Kisah tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani memerdekakan budak dan mengembalikan harta kekayaan
  23. Kisah tentang turunnya makanan dari langit
  24. Kisah tentang sembuhnya orang-orang yang kena penyakit “thoun” berkat memakan rerumputan dan meminum air dari madrasah milik Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani
  25. Kisah tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani menghidupkan ayam
  26. Kisah tentang anjing yang menunggu Istal (kadang kuda) setelah membunuh kucing
  27. Kisah tentang pembelian 40 kuda yang baik berdasarkan pengakuan kuda-kuda yang kurang sehat.
  28. Kisah tentang jin ifrit yang berada di bawah kekuasaan Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani
  29. Kisah tentang ampunan raja jin terhadap orang yang membunuh putranya
  30. Kisah tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani mengobati orang yang digoda jin
  31. Kisah tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani mencium tangan Nabi Muhamad Saw
  32. Kisah tentang kemampuan Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani mengunjungi murid-muridnya di 70 tempat pada satu waktu
  33. Kisah tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani menyelamatkan isteri salah seorang muridnya dari perbuatan tercela orang fasik
  34. Kisah tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani menolong seorang yang akan dilepas kewaliannya
  35. Kisah tentang Syaikh Ahmad Kanji menjadi Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani berdasarkan petunjuk gurunya.
  36. Kisah tentang Syaikh Ahmad Kanji mencari kayu bakar yang terbang ketika kayu itu akan di letakan di atas kepalanya.
  37. Kisah tentang salah seorang isteri yang dianugerahi berkat doanya Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani
  38. Kisah tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani menyelamatkan muridnya dari siksa Munkar Nakir
  39. Kisah tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani memberi ucapan selamat pada setiap tahun baru dan mencerita apa yang akan terjadi pada tahun berikutnya
  40. Kisah tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani diberi lembaran buku untuk mencatat murid-muridnya yang datang pada hari kiamat
  41. Kisah tentang seorang yang mengisapjarinya, kemudian giginya tanpa merasa ingin makan (merasa kenyang)
  42. Kisah tentang Syaikh Shon ‘Ani yang tidak taat kepada nasehat Sayid Abdul Qadir al-Jaelani
  43. Kisah tentang ikan sungai Dajlah (Tigris ?) yang berusaha mencium telapak tangannya
  44. Kisah tentang kemampuan Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani merubah wali mardud (ditolak) menjadi wali maqbul
  45. Kisah tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani menyelamatkan muridnya dari api (siksa) dunia akhirat
  46. Kisah tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani menampakan dirinya dalam wujud aki-aki (orang tua)
  47. Kisah tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani dicoba digoda setan
  48. Kisah tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani menampar setan
  49. Kisah tentang pemberian hadiah uang dari seorang raja yang kemudian menjadi darah karena tidak diberikan secara langsung oleh raja
  50. Kisah tentang pemberian hadiah dari raja secara langsung berupa apel pada kesempatan yang lain
  51. Kisah tentang wasiat Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani kepada putranya.
  52. Kisah tentang sholat hajat disertai dengan meminta pertolongan Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani
  53. Kisah tentang meninggalnya Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani.

Para ahli maca seh mengakui bahwa pembacaan manaqib tersebut tidak selalu sampai selesai, tetapi disesuaikan dengan permintaan tuan rumah. Pada acara menyambut hajatan seperti pernikahan atau khitanan yang dilakukan sehari sebelum acara tersebut, pembacaan manaqib dilakukan dari petang sampai subuh dengan menyelesaikan seluruh episode yang ada. Namun apabila digabung acara slametan yang lain acara pembaca manaqib berlangsung dengan singkat.

Di Baros dan Gunung Kaler orang-orang yang sering membaca manaqib (wawacan seh) dan sering diminta warga untuk membacanya di depan publik bukanlah orang-orang yang mendapat kedudukan sosial terhormat. Supyan di masyarakat Gunung Kaler bukan ahli agama yang dihormati seperti kiyai atau ustadz. Karena itu, pada umumnya, para pembaca manaqib bukan orang yang mendapat gelar kiyai atau ustadz. Meskipun demikian para pembaca manaqib adalah orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren, sehingga pada umumnya adalah orang-orang yan mampu membaca huruf-huruf Arab.

Dengan demikian, otoritas atau kewibawaan itu bukan terletak pada pembacanya, tetapi pada teks yang dibaca, pada manaqib itu sendiri. Hal itu sebenarnya bukan hal yang aneh dalam tradisi Islam. Otoritas tertinggi dalam kehidupan sosial adalah teks suci, yakni al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan para pembaca teks suci tidak mendapat kedudukan atau otoritas yang tinggi.

Berdasarkan hal mengapa pembacaan manaqib mendapat kedudukan terhormat dalam masyarakat? Mengapa pembacaanya dipandang dapat memberikan berkah kepada pembaca dan pendengarnya? Hal ini terkait dengan kedudukan wali atau para guru sufi yang masyarakat muslim yang mendapat tempat terhormat.

——————————————–

Wali dan Karomah

H. Sanwani dan Dulmuti setuju bahwa kata-kata semata yang terdapat dalam manaqib tidak akan merubah dunia. Dalam pandangan H. Sanwani dan keluarganya manaqib itu memiliki “kekuatan” karena berhubungan dan merupakan bentuk komunikasi kepada ruh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, seorang yang diyakini wali Allah yang sangat mulia, yang merupakan kekasih-Nya dan tentunya memiliki kedekatan dengan-Nya. Allah adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, pencipta alam semesta serta pemilik kekuasaan dan kekuatan yang terjadi di dunia ini. Karena itu membaca manaqib merupakan salah satu manifestasi bentuk kecintaan kepada wali tersebut.

Wali adalah pada umumnya dipakai untuk gelar bagi seorang sufi yang telah mencapai tingkatan ma’rifat, yakni pengetahuan tentang rahasia-rahasia Allah. Para ahli (fuqaha) jarang mendapat gelar sebagai wali. Mereka pada umumnya dikenal sebagai mujtahid. Dengan demikian, istilah wali banyak dipakai dalam dunia tasawuf, untuk memberi gelar pada para sufi yang telah mencapai puncak “pendakian” spiritual. Karena itu kewalian dicapai melaui perjalanan mistik.

Menurut beberaja ajaran tasawuf, derajat kewalian dicapai melalui tidak hanya melalui perjuangan (al-riyadhah) tetapi juga merupakan anugerah dari Allah. Karena itu tidak setiap sufi mencapai derajat kewalian. Bahkan ada ulama yang menyatakan bahwa yang mengetahui seseorang wali adalah wali itu sendiri dan Allah.

Pada umumnya masyarakat percaya bahwa seorang wali adalah orang suci, yakni memiliki kesucian jiwa. Wali berarti “seseorang yang berada di bawah perlindungan khusus”, atau bisa juga bermakna “teman”. Kata Auliya’ Allah disebutkan dalam al-Qur’an beberapa kali, yang paling mashur dalam surah 10: 63 “ Sesungguhnya, wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” Derajat kewalian diperoleh berkat ketekunannya beribadah kepada Allah, memiliki sifat zuhud (asketis) terhadap kehidupan dunia, imaginasi orang tentang orang mulia adalah yang bersifat spiritual, ikhlas, memiliki kualitas moral yang baik dan jiwa yang kuat. Karena itu dalam imajinasi masyarakat bahwa seorang wali memiliki kemampuan melakukan meditasi (tapa) dalam waktu yang lama sekali. Tindakan meditasi itu diikuti dengan berpuasa secara penuh di tempat-tempat terpencil atau sepi, yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan duniawi. Para wali besar, seperti Sunan Kalijaga atau Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani, dipercayai mampu melakukan puasa hingga berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan.

Dalam dunia sufi berkembang pula hirarki kewalian (wilayat) yakni: wilayat ‘ammah, derajat kewalian biasa yang telah dikenal oleh orang-orang beriman pada umumnya, dan wilayat khassa, ialah para sufi yang sudah mencapai derajat yang paling tinggi yakni mencapai derajat ma’rifat sehingga seperti dilukiskan dalam kitab-kitab tasawuf sehingga keberadaanya “ hilang dalam Tuhan dan hidup dalam Dia”. Sehingga para sufi yang telah mencapai pengalaman rohani tertinggi itu diberi gelar qutb “poros, kutub” atau ghauth “pertolongan”. Gelar-gelar diberikan kepada Abdul Qadir al-Jaelani, sebagai simbol akan keluhuran capaian rohaninya. Wali yang telah mencapai gelar qutb atau ghauth tersebut di kelilingi oleh wali-wali lain yang derajatnya lebih rendah seperti nuqaba (pengganti), autad (tiang-tiang), abrar (yang saleh), abdal (pengganti-penganti) dan akhyar (yang baik).9

Pada umumnya, para wali mengakui keunggulan para nabi. Akhir dari kewalian hanyalah permulaan dari kenabian. Setiap nabi pada dirinya sendiri mempunyai aspek kewalian, namun jarang sekali kaum sufi yang bisa berupaya mencapai derajat kerohanian yang mendekati kenabian. Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani yang dipercayai telah mencapai gelar qutb atau ghauth masih berada derajatnya di bawah Nabi Muhammad Saw. Dalam salah satu episode manaqibnya dicerita sebagai berikut;

“Dicaritakeun ku Syaikh Rosyid bin Muhammad al-Junaidi, dina weungina mi’roj kangjeng Nabi sumping malaikat Jibril yandak buroq. Ari talapukna eta buroq ngagebyur cara bulan. Ari paku-pakuna cara binatang. Barang diasongkeun ka jungjungan Nabi eta buroq henteu daekkeun cicing. Timbalan kangjeng Nabi “kunaon buroq numantaq maneh henteu daek cicing? naha maneh teh embung ditumpakan ku kaula? Tuluy eta buroq unjukan pokkna nyawa abdi jadi tetbus taneh kafaran. Gusti abdi sanes henteu purun ditunggangan ku gusti. Mung abdi aya panuhun ka gusti, nyaeta dina dinteun kiyamah nali ka gusti bade lebet ka Surga ulah numpakan anu sanes. Dawuhan Rasulullah heug dikabul pamenta maneh. Unjukeun da eta buroq muga gusti kersa nyapengkeun panangan gusti kana pundak abdi supaos jadi tawis dina dinten qiyamah. Teras panangen kangjeng Nabi dicepengkeun kana pundakna buroq. Ku margi eta buroq kalintang bingahna dugi ka jasadna eta buroq henteu cekap pikeun wadah rohna kapaksa eta buroq harita ngajangkungan dugi ka opatpuluh hasta. Tidinya kanjeng Rasulullah ngadeg sakedap wiroh ningali buroq sakitoh jangkungna tawakuf kana nitihan anu sanes tidinya teras sumping rohna al-ghous al-‘adhom sayyid Abdul qadir al-Jaelani. Teras unjukan gusti “mangga ieu pundak abdi titih ku gusti”. Teras kanjeng Nabi nitih kana pundak ghous al-‘adhom teras ghous al-‘adhom ngadek. Teras kanjeng Nabi nunggang sareng ngadawuh, “ kanjeng Nabi ieu dampal suku kaula ninjak kana pundak maneh, ari dampal suku maneh eta ninjak kana pundakna sakabeh wali Allah”

Untuk menunjukan betapa pentingnya kedudukan seorang wali sehingga ia mendapat gelar qutb atau ghauth adalah karena dipandang sebagai poros dunia. Dunia tidak akan ada tanpa sebuah kutub atau poros. Dunia ini berputar sekelilingnya seperti penggiling berputar-putar seputar porosnya, tanpa poros, dunia ini nyaris tidak memiliki kegunaan. Demikian pula peran seorang wali yang besar dipandang sebagai poros kehidupan dunia yang menentukan. Qutb adalah pusat yang sesunguhnya dari daya rohani dan kesejahteraan (keselamatan) dunia ini tergantung kepada pusat itu.

Dalam kosmologi para pengikut tasawuf, yang kemudian menjadi pengetahuan masyarakat awam, diyakini bahwa Tuhan menyerahkan pengaturan alam semesta ini adalah kepada para wali. Sehingga alam bisa berjalan dengan teratur ini berkat para wali. al-Hujwiri dalam Kasyful Mahjub menggambarkan peran wali dalam mengatur dunia itu sebagai berikut:

Setiap malam autad (gelar bagi seorang sufi yang mencapai derajat tertentu) mengelilingi seluruh alam semesta dan seandainya ada suatu tempat yang terlewat dari mata mereka, keesokan harinya akan tampak ketidaksempurnaan di tempat itu dan mereka harus memberitahukan hal ini kepada Qutb (seorang sufi yang telah mencapai derajat kesempurnaan), agar supaya ia memperhatikan tempat yang tidak sempurna tadi dan bahwa dengan rahmatnya ketidaksempurnaan tadi akan hilang.

Karena itu dipercayai bahwa berkat karomah para wali hujan turun dari langit, tempat-tempat yang disentuh oleh kaki mereka yang suci tumbuh tanaman-tanaman dan karena pertolongan mereka seseorang selamat dari marabahaya yang mengancam mereka.

Masyarakat Gunung Kaler dan Baros, bahkan sudah menjadi pengetahuan umum bagi kaum muslim, menyakini adanya karomah yang dimiliki para wali. Karomah dipandang sebagai ciri seseorang dipandang wali. Secara literal bermakna kemuliaan, yakni kemulian yang diberikan Allah berkat kesucian jiwa dan keagungan rohani yang dimilikinya. Dalam konteks kewalian, karomah bermakna keajaiban-keajaiban yang dianugerahkan kepada seorang wali, seperti halnya mu’jizat yang diberikan kepada para Rasul dan Nabi. Berbeda dengan mu’zijat yang diberikan kepada Nabi, didapat sebagai anugerah Allah sebagai ciri kenabian tanpa perlu adanya suatu usaha apapun, sedangkan karomah adalah anugerah Allah yang diberikan pada manusia biasa yang telah berusaha mendekatkan dirinya kepada Allah dengan cara mensucikan jiwanya sehingga ia menyandang gelar wali. Sehingga kesucian jiwa itu yang diyakini bisa menerima kebesaran dan anugerah Allah. Allah memberikan kepada orang tersebut kemuliaan (karomah) dari manusia-manusia yang lainnya.

Salah satu ciri dari karomah yang terdapat pada wali adalah kejadian-kejadian ajaib yang di luar hukum alam. Istilah umum untuk sesuatu yang luar biasa itu adalah khariq al-‘adah, “yang keluar dari adat kebiasaan”, yaitu adanya keyakinan bahwa apabila Tuhan menghendaki, maka rangkaian sebab akibat yang sudah menjadi hukum alam dan menjadi adat kebiasaan kita dalam memahaminya, akan tidak berlaku. Tuhan, Yang Maha Kuasa, bisa merubah arah kehidupan tanpa diperlukan adanya alasan yang bisa dipahami oleh akal manusia biasa.

Manaqib atau wawacan seh adalah salah satu contoh dari cerita-cerita kejadian luar biasa yang diyakini terjadi pada seorang wali yakni Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani. Kisah-kisah luar biasa yang terjadi pada manaqib tersebut, pada umumnya dipercayai oleh masyarakat bahwa hal itu terjadi. Hal ini seperti yang dikemukakan Supian “kejadian-kejadian seperti itu dipandang bukan hal yang aneh apabila terjadi pada seseorang yang dipandang wali, sebab seorang wali dianugerahi oleh Allah dengan karomah.

Berikut ini adalah salah satu contoh karomah yang dimiliki oleh Syaikh Abdul al-Qodir Jaelani tentang kemampuannya merubah jenis kelamin orang.

Dicaritakeun ku Syaikh Hawad al-Qodiri, aya hiji lalaki ngadehes ka Sayyid Abdul Qodir unjukan hayang gaduh anak lalaki. Dawuhan Sayyid Abdul Qodir “maneh minta barang anu golib, hek moal henteu boga”. Tidinya eta jalma saban dinten henteu patut-patut hadir di majelis Sayyid Abdul Qadir. Barang parantos lami eta jalma kalawan kapastian tinumaha kawas gaduh anak tapi anakna awewe. Teras eta anakna dicandak ka Sayyid Abdul Qodir piunjukna gusti kapungkur abdi nyahokeun anak teh sanes nyuhunkeun awewe, nyuhunkeun anak lalaki. Dupi ieu kenging awewe. Dawuhan Sayyid Abdul Qodir “eta orok buntel jig balik tangtu engke jadi lalaki”. Teras eta orok dibuntel dibawa balik. Barang dibuka di imahna eta budak jadi budak lalaki kalawan idzin Allah ta’ala.

Adanya keyakinan bahwa karomah yang dimiliki oleh seorang wali tidak hanya terbatas pada waktu ia hidup, tetapi juga setelah meninggalnya. Para sufi dan masyarakat pada umumnya menyakini bahwa para wali Allah, seperti halnya, Abdul Qadir Jaelani, meskipun sudah meninggal dunia secara lahiriyah, tetapi sesungguhnya mereka masih hidup. Mereka mendasarkan keyakinannya itu pada ayat al-Qur’an surat Ali Imran: 169-171.

Janganlah kamu mengira orang yang terbunuh di jalan Allah sudah mati. Tidak, mereka hidup di sisi Tuhannya, mereka mendapat rezeki. Mereka senang dengan karunia yang diberikan Allah, mereka bergembira dengan yang belum menyusul mereka di belakang; mereka tidak perlu khawatir, tak perlu sedih. Mereka bergembira dengan nikmat dan karunia dari Allah dan Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang beriman.(Q.S. Ali Imron: 169-171)

Berdasarkan adanya keyakinan tersebut bahwa aktivitas maca seh adalah salah satu cara mengagungkan wali Allah, seperti Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani. Cara yang lainnya adalah dengan memperingati kelahiran dan kematiannya. Pada setiap tanggal 12 Rabi al-Akhir diperingati sebagai meninggalnya Syaikh. Para pengikut tarekat mempergunakan kesempatan tersebut untuk mengadakan haul yang dihadiri ribuan orang. Haul itu biasanya diisi dengan acara pembacaan manaqib beliau. Acara yang cukup besar tentang haul Syaikh Abdul Qodir al-Jaelani biasanya dilakukan di Caringin, Labuan, Pandeglang. Caringin memang dikenal sebagai pusat penyebaran Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah. Salah satu mursyid tarekat yang cukup dikenal di daerah ini adalah Ki Asnawi (w. 1937).

Karena karomah wali itu diyakini tidak terhenti meskipun ia sudah meninggal, maka kuburan wali tersebut menjadi tempat yang dihormati dan dikunjungi banyak orang untuk melakukan ziarah kepadanya. Maka kuburan wali tersebut dipandang sebagai tempat keramat (berasal dari kata karomah), yakni tempat yang sakral dan bernuansa magis. Karena itu kuburan para wali itu diyakini oleh sebagian orang merupakan tempat yang cocok untuk melakukan tapa berat dalam rangka mendapatkan kesaktian, misalnya.

Pandangan bahwa wali adalah “kekasih Allah” yang memiliki tempat istimewa, sehingga memiliki otoritas untuk mengatur kehidupan alam semesta ini, termasuk kehidupan manusia di muka bumi, telah menjadi sistem keyakinan masyarakat Banten semenjak dahulu. Para penguasa Banten memakai gelar keagamaan, Maulana (gelar yang biasa dipakai oleh seorang yang telah mencapai derajat wali), didepan nama mereka. Pendiri dan penguasa pertama Banten, Sunan Gunung Djati, dikenal dengan sebutan Maulana Makhdum. Begitu pula dengan para penggantinya, seperti Maulana Hasanuddin, Maulana Yusuf dan Maulana Muhammad. Gelar keagamaan tersebut dipakai para penguasa Banten untuk melegitimasi dirinya sebagai orang yang telah mencapai derajat kewalian. Karena itu ia bukan saja memiliki legitimasi kuat untuk mengurusi hal-hal duniawi tetapi juga berkaitan dengan soal-soal keagamaan.

Kepercayaan kepada karomah para wali, seperti Syaikh Abdul Qodir Jaelani, sebenarnya adanya perubahan dalam orientasi kosmologi masyarakat Banten dengan masa pra-Islam dan ditandai dengan memudarnya kepercayaan kepada tokoh-tokok sakralnya. Kosmologi pra-Islam, yakni pusat-pusat kosmis yang diyakini sebagai titik temu antara dunia fana dengan supranatural, adalah tokoh atau tempat yang bersifat lokal, seperti Pucuk Umun dan Gunung Karang. Orientasi kosmologi masyarakat Banten masa Islam lebih bersifat global dengan menjadikan tokoh-tokoh besar dunia tasawuf yang diakui di dunia muslim dan dijadikannya Mekkah sebagai pusat kosmis, yang dikunjungi telah mengakibatkan adanya penghancuran terhadap sistem kepercayaan dan kebudayaan pra Islam selain sebagai ibadah tetapi untuk mencari ilmu (ngelmu) atau kesaktian dan legitimasi politik.14 Karena itu, para kesultanan Banten selain memakai gelar kewalian di depan namanya, mereka juga sering berusaha untuk mendapatkan gelar “sultan” dari para penguasa Mekkah.

Berdasarkan hal itu, tepat yang dikatakan oleh Mark R Woodward, meskipun dalam konteks kebudayaan Jawa,15 kesejarahan Islam di Banten tidak hanya sekedar persoalan konversi dari animisme dan Hindu-Budha kepada Islam, namun juga soal Islam sebagai legitimasi baru bagi kekuasaan/kerajaan. Sehingga proses perubahan tersebut, meskipun proses tersebut tidak berjalan secara sempurna.

——————————————–

Keberkahan dan Keselamatan

H. Sanwani mengadakan acara maca seh di rumahnya pada setiap malam Jum’at dengan harapan mendapat berkah. Ketika ditanya; “apa arti berkah? H. Sanwani tidak menjawab secara langsung namun ia memberikan contoh; “apabila seseorang menanak nasi yang diperkirakan tidak mencukupi untuk memberi sejumlah orang, tetapi ketika itu disuguhkan ternyata nasi itu cukup untuk semua yang hadir”. Rupanya para penduduk Gunung Kaler dan Baros sendiri kesulitan dalam memberikan defenisi yang pasti tentang makna berkah. Kata “berkah” seperti halnya kata “karomah”, sering muncul setiap kali berbicara tentang acara maca seh, slametan atau berziarah ke makam para wali. Bahkan tujuan yang ingin diraih dari kegiatan-kegitan tersebut adalah untuk mendapatkan berkah, “ngala berkahna’. Karena itu kata tersebut menjadi penting dalam membentuk kesadaran masyarakat tentang pola hidup yang harus dijalani dan sistem keagamaan yang mereka hayati.

Kata berkah yang dipergunakan oleh masyarakat pada umumnya menunjukan suatu kondisi psikologis dan sosial tertentu yang bersifat positif yang dirasakan oleh seseorang atau suatu masyarakat. Karena itu, berkah bisa dimakna dengan kecukupan, kesejahteraan, keselamatan atau ketenangan. Kata berkah juga menunjukan rasa ketergantungan kepada Yang Maha Kuasa. Sebab yang mampu memberikan keberkahan (memberkati) hanya Allah. Sehingga keberkahan itu didapat seseorang sebagai simbol dari limpahan kasih sayang Tuhan kepada manusia yang secara tulus beribadah kepadanya. Karena itu tidak semua bentuk peribadatan/pengabdian mesti mendapat berkah dari Allah, misalnya, disebabkan tidak dilakukan dengan ikhlas.

Dalam al-Qur’an kata “baraka” (memberkati) dan berbagai macam derivasinya selalu dihubungkan dengan Allah, sebagai pemilik kekuasaan. Ayat-ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa “Allah memberkati” atau “Kami memberkati” lebih banyak ditujukan kepada suatu tempat seperti Masjid al-Aqsa dalam surat al-Isra, ayat 1, dan perkampungan Saba dalam surat Saba, ayat 18. Lafad baraka pada ayat tersebut bermakna bahwa Allah menyedikan “tempat yang memberi kesejahteraan, ketenangan, keamanan dan kenyamanan” bagi para penguninya. Dalam al-Qur’an, kalimat “kami memberkati” (barokna) yang ditujukan kepada orang hanya ditunjukan kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Ishak (al-Shofat: 113), yakni orang yang mendapat kemulian dan kehormatan dari Allah. Sebagai orang yang dimuliakan tentunya mereka mendapat kenyamanan, kesejahteran, keamanan dan ketenangan.

Bagi Supian dan Misra mendapat berkah terasakan dalam pengalaman bukan untuk dipikirkan. Pengalaman dalam tingkatan pribadi adalah merasakan ketenangan dan kenyamanan dalam jiwanya. Sehingga mereka dapat menjalani hidup ini dengan penuh optimis karena merasa terlindungi dari segala marabahaya. Sedangkan pada tingkatan sosial adanya rasa diterima oleh masyarakat, tidak terjadi konflik sosial yang membuat warga sengsara, tercukupi kebutuhan yang diinginkannya sehingga merasakan kenyamanan dan keamanan. Secara ringkasnya mereka merasa terlindungi dari segala marabahaya yang selalu mengancamnya baik dalam tingkatan pribadi maupun secara sosial sehingga mereka ada dalam keselamatan. Jadi tujuan mendapat berkah adalah slamet.

H. Sanwani meyakini bahwa berkah didapat bukan akibat dari konsekwensi langsung dari manusia tetapi lebih sebagai simbol kasih sayang Tuhan kepada makhluknya yang taat kepadanya. Ketaatan tersebut ditandai dengan partisipasinya dalam kegiatan-kegiatan ritual yang bertujuan mengagungkan nama-Nya. Dengan demikian, keberkahan itu selalu berasal dari Tuhan, kemudian turun dan tersebar kepada makhluknya, termasuk kepada manusia. Tuhan menjadi pusat kehidupan. Dari Tuhan itu kemudian muncul kehidupan-kehidupan lain.

Karena itu yang ideal dalam kehidupan manusia adalah terserap dalam irama kehidupan yang sudah ditentukan Tuhan, untuk merasakan kebahagian dan kenyamanan. Karena itu, barang siapa tidak mengikuti irama Tuhan tersebut, ia berada di luar irama kehidupan yang penuh berkah. Itu berarti ada dalam kehidupan penuh bahaya, tersesat, jatuh dalam kesengsaraan, atau tidak berada dalam jalan “keselamatan”.

Bagi masyarakat Gunung Kaler dan Baros, para wali adalah “kekasih Allah” yang telah diberi beberapa kemulian (karomah) sebagai simbol kewaliannya. Salah satu fungsi para wali adalah menjadi “perantara” untuk melakukan komunikasi antara Tuhan, Yang Maha Segalanya, dengan manusia yang serba kelemahan (dho’if). Keberkahan Tuhan tidak serta merta dapat dicapai oleh manusia biasa karena jarak yang begitu besar antara dirinya dengan Tuhan, sehingga diperlukan dalam hal ini yang menjadi jembatan penghubung antar keduanya. Peran inilah yang dimainkan wali. Artinya, Wali memiliki peran penting dalam menentukan seseorang mendapat berkah sehingga ia bisa slamet. Salah satu episode cerita dalam manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jaelani menuturkan tentang hal itu.

Ka carioskeun di zaman Sayyid Abdul Qodir, aya hiji jalma fasik, tapi eta jalma kajida mahabahna ka Sayyyid Abdul Qodir. Sanggeus eta jalma maot dikubur disual ku malaikat mungkar wa nakir henteu aya deui jawabna eta jalma ngan Abdul Qodir. Tidinya sumping timbalan ti Gusti Allah, “hei munkar wa nakir eta jalma bener fasik siksaeun tapi kulantaran manehna mahabah ka kasih aing ayeuna dihampura ku aing”

Artinya: diceritakan pada zaman Sayyid Abdul Qodir, ada salah seorang manusia fasiq, tapi orang itu sangat mencintai kepada Sayyid Abdul Qodir. Setelah orang itu wafat dikubur dan ditenya oleh malaikat Mungkar dan Nakir tidak ada jawaban lagi hanya Abdul Qodir. Dari itu datang jawaban dari Gusti Allah, “wahai Mungkar dan Nakir orang itu betul-betul fasiq dan harus disiksa, tapi karena ia sangat mencintai kepada kekasihKU sekarang dimaafkan olehKU”.

Cerita tersebut sering dijadikan rujukan para kiyai tentang “kedudukan ulama” dalam kehidupan individu atau masyarakat. Pada salah satu khutbah Jum’at di Kecamatan Cimanuk, Pandeglang, khotib memberikan ilustrasi tentang pentingnya ulama dengan menceritakan kisah Syaikh Abdul Qodir tersebut. Kata fasik dalam cerita tersebut dimaknai sebagai orang yang kurang taat menjalankan ritual ibadah, seperti sholat dan puasa Ramadhan. Sehingga, menurutnya, ketika orang tersebut ditanya Malaikat Munkar wa Nakir tidak bisa memberikan jawaban yang benar. Seperti ditanya, siapa Tuhanmu?, Siapa nabimu? Apa kitabmu? Semua pertanyaan ia jawab dengan satu kata, “Syaikh Abdul Qodir. Namun berkat kecintaannya terhadap ulama, seperti dikisahkan dalam cerita Abdul Qodir al-Jaelani tersebut, kekurangan tersebut dimaafkan oleh Allah, sehingga ia bisa masuk surga.

Penghormatan terhadap ulama, dalam hal ini mursyid, menjadi hal utama dalam tradisi sufi. Seorang murid tidak akan mengalami kemajuan spiritual, tanpa dibarengi oleh ketaatan pada perintah mursyid. Sehingga sang mursyid merasa ridho untuk membimbingnya ke jalan spiritual. Posisi seorang murid terhadap gurunya seperti dijelaskan dalam beberapa buku tentang tasawuf adalah “bagaikan mayit di tangan yang memandikannya”. Penjelasan pentingnya tentang ketundukan terhadap guru tersebut seperti dijelaskan oleh Al-Ghazali:

“seorang murid tidak dapat tidak harus mempunyai seorang penunjuk yang akan membimbingnya di jalan benar. Karena jalan iman adalah samar, sedangkan jalan setan adalah banyak dan mudah, dan orang yang tidak mempunyai syaikh yang membimbingnya, akan dibawa iblis kepada jalannya. Karena itu seorang murid harus bersandar pada syaikhnya seperti seorang buta di pinggir sungai bersandar pada penunjuk jalannya, mempercayakan diri sepenuhnya kepadanya, tidak menentangnya dalam masalah apa pun juga, dan mewajibkan diri untuk mengikutinya secara mutlak. Hendaklah dia tahu bahwa keuntungan yang diperolehnya dari kekeliruan syaikhnya, apabila ia keliru, adalah lebih besar dari pada keuntungan yang diperolehnya dari kebenaran yang ditemukan sendiri, kalau ia benar.”.

Pengagungan dan penghormatan masyarakat Gunung Kaler dan Baros terhadap Syaikh Abdul Qodir merupakan tiruan dari tasawuf. Ketika tasawuf menjadi gerakan masa (budaya populer) melalui tarekat, maka terjadi beberapa pendangkalan makna tasawuf. Tasawuf yang pada mulanya merupakan usaha untuk mensucikan jiwa dengan tujuan mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Allah, melalui bimbingan para guru-guru sufi, berubah menjadi assosiasi atau perserikatan, yang dikenal dengan tarekat. Sebagai perserikatan, selain diperlukan adanya pengurus juga dibutuhkan suatu doktrin/ajaran yang mengikat para anggota atau jama’ah sebagai identitas kelompok. Karena tarekat pada hakekatnya dibangun berdasarkan atas kesetian pada suatu ajaran/pendapat yang dikemukakan oleh seorang sufi, maka tidak terhindarkan proses indoktrinasi dan pengagungan guru-guru sufi itu. Hal ini kemudian yang tersebar secara luas dalam masyarakat dan menjadi pola kebergamaan mereka dalam menghayati keislaman.

Pada masyarakat tradisional, penghargaan terhadap peristiwa masa lalu dan para tokohnya memang sangat penting sebagai pembentuk identitas mereka. Masa lalu dipandang sebagai zaman ideal yang harus menjadi tuntunan bagi orang-orang yang hidup pada masa kini dalam menjalani kehidupannya. Karena itu, penghormatan pada tokoh-tokoh besar masa lalu, seperti para syaikh menjadi begitu tinggi. Karena penghormatan kepada kuburan para wali melibihi penghormatan tokoh-tokoh yang masa hidup. Semua itu bertujuan untuk mendapatkan berkahnya.

Konsep berkah sebetulnya mirip dengan konsep karomah. Kalau karomah adalah keajaiban-keajaiban yang terjadi pada para wali atau guru-guru besar para sufi sedangkan berkah adalah keajaiban-keajaiban yang terjadi pada masyarakat biasa. Karena itu kejadian-kejadian yang secara nalar biasa (common sense) tidak biasa terjadi, seperti kasus “menanak nasi sedikit tetapi mencukupi orang banyak” sebagaimana yang dikemukan oleh H. Sanwani di atas, karena mendapatkan berkah. Bagi masyarakat tradisional hidup ini memang penuh dengan keajaiban, karena itu tidak cukup dengan hanya mempergunakan nalar biasa, tetapi juga dibutuhkan nalar lain yang mampu memahami fenomena-fenomena alam yang terkadang tidak bisa dipahami oleh masyarakat biasa.

———————— bersambung ————————–

Pos ini dipublikasikan di 01 Sejarah. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar