Mitos – mitos yang beredar di masyarakat Banten Kidul


MITOS  – MITOS DI BANTEN KIDUL


PANDEGLANG (20/04), Ketika Kerajaan Sunda runtuh tahun 1579, kekuasaan atas daerah Banten digantikan oleh Kesultanan Banten yang bercorak Islam. Proses pergantian kekuasaan itu seiring dengan dilakukannya Islamisasi oleh Syarif Hidayatullah yang dilakukan sejak tahun 1522. Selain itu, runtuhnya Kerajaan Sunda pun telah melahirkan berbagai mitos yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat Banten. Mitos-mitos itu ada yang bercerita ketika Kerajaan Sunda masih berdiri, mitos tentang penolakan para pengikut setia Raja Sunda atas kekalahan kerajaannya, mitos yang bercerita tentang proses Islamisasi itu sendiri, dan cerita-cerita mitos ketika Kesultanan Banten telah berdiri.

————————————–

MITOS NYI RORO KIDUL VERSI MASYARAKAT BANTEN KIDUL


Banten Kidul yang  berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia, masyarakat Banten Kidul mengenal sebuah dongeng tentang Nyi Roro Kidul. Bagi masyarakat, cerita ini bagian yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensi Kerajaan Sunda. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau kisah tentang penguasa laut selatan ini berbeda dengan cerita yang dikenal oleh masyarakat pantai selatan di luar Banten Kidul, seperti di daerah Yogyakarta. Cerita ini begitu legendaris dan sangat kuat terpatri di hati masyarakat Lebak selatan yang memang bersinggungan langsung dengan laut selatan.

Diceritakan bahwa Nyai Roro Kidul merupakan putri Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pakuan Pajajaran. Ibunya merupakan permaisuri kinasih dari Prabu  Siliwangi. Nyai Roro Kidul yang semula bernama Putri Kandita, memiliki paras yang sangat cantik dan kecantikannya itu melebihi kecantikan ibunya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau Putri Kandita menjadi anak kesayangan Prabu Siliwangi.

Sikap Prabu Siliwangi yang begitu menyayangi Putri Kandita  telah menumbuhkan kecemburuan dari selir dan putra-putri raja lainnya. Kecemburuan itu yang kemudian melahirkan persengkokolan di kalangan mereka untuk menyingkirkan Putri Kandita dan ibunya dari sisi raja dan lingkungan istana Pakuan Pajajaran.

Rencana tersebut dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan ilmu hitam  sehingga Putri Kandita dan ibunya terserang suatu penyakit yang tidak bisa  disembuhkan. Di sekujur tubuhnya, yang semula sangat mulus dan bersih, timbul  luka borok bernanah dan mengeluarkan bau tidak sedap (anyir). Akibat penyakitnya itu, Prabu Siliwangi mengucilkan mereka meskipun masih tetap berada di lingkungan istana. Akan tetapi, atas desakan selir dan putra-putrinya, Prabu Siliwangi akhirnya mengusir mereka dari istana Pakuan Pajajaran.

Mereka berdua keluar dari istana dan berkelana ke arah selatan dari wilayah kerajaan tanpa tujuan. Selama berkelana, Putri Kandita kehilangan ibunya yang meninggal dunia di tengah-tengah perjalanan. Suatu hari, sampailah Putri Kandita di tepi sebuah aliran sungai. Tanpa ragu, ia kemudian meminum air sungai sepuas-puasnya dan rasa hangat dirasakan oleh tubuhnya. Tidak lama kemudian, ia merendamkan dirinya ke dalam air sungai itu.

Setelah merasa puas berendam di sungai itu, Putri Kandita merasakan bahwa tubuhnya kini mulai  nyaman dan segar. Rasa sakit akibat penyakit boroknya itu tidak terlalu menyiksa dirinya. Kemudian ia melanjutkan pengembaraannya dengan mengikuti aliran sungai itu ke arah hulu. Setelah lama berjalan mengikuti aliran sungai itu, ia menemukan beberapa mata air yang menyembur sangat deras sehingga semburan mata air itu melebihi tinggi tubuhnya. Putri Kandita menetap di dekat sumber air panas itu. Dalam kesendiriannya, ia kemudian melatih olah kanuragan.

Selama itu pula, Putri Kandita menyempatkan mandi dan berendam di sungai itu. Tanpa disadarinya, secara berangsur-angsur penyakit yang menghinggapi tubuhnya menjadi hilang. Setelah sembuh, Putri Kandita meneruskan pengembaraan dengan mengikuti aliran sungai ke arah hilir dan ia sangat terpesona ketika tiba di muara sungai dan melihat laut. Oleh karena itu, Putri Kandita memutuskan untuk menetap di tepi laut wilayah selatan wilayah Pakuan Pajajaran.

Selama menetap di sana, Putri Kandita dikenal luas ke berbagai kerajaan yang ada di Pulau Jawa sebagai wanita cantik dan sakti. Mendengar hal itu, banyak pangeran muda dari berbagai kerajaan ingin mempersunting dirinya. Menghadapi para pelamar itu, Putri Kandita mengatakan bahwa ia bersedia dipersunting oleh para pangeran itu asalkan harus sanggup mengalahkan kesaktiannya termasuk bertempur di atas gelombang laut yang ada di selatan Pulau Jawa. Sebaliknya, kalau tidak berhasil memenangkan adu kesaktian itu, mereka harus menjadi pengiringnya.

Dari sekian banyak pangeran yang beradu kesaktian dengan Putri Kandita, tidak ada seorang pangeran pun yang mampu mengalahkan kesaktiannya dan tidak ada juga yang mampu bertarung di atas gelombang laut selatan. Oleh karena itu, seluruh pangeran yang datang ke laut selatan tidak ada yang menjadi suaminya, melainkan semuanya menjadi pengiring Sang Putri. Kesaktiannya mengalahkan para pangeran itu dan kemampuannya menguasai ombak laut selatan menyebabkan ia mendapat gelar Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul yang artinya Ratu Penguasa di Selatan.

Cerita ini memang tidak bersangkutan dengan Kesultanan Banten yang berdiri menggantikan Kerajaan Sunda di wilayah Banten Selatan. Akan tetapi, cerita ini sangat penting dikemukakan sebagai salah satu wujud mentifact masyarakat Banten Selatan tentang keberadaan Nyai Roro Kidul, Prabu Siliwangi, dan Kerajaan Pakuan Pajajaran. Artinya, Kerajaan Laut Kidul yang dikenal dalam pikiran masyarakat Banten selatan itu memiliki hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Pakuan Pajajaran, karena penguasanya merupakan anak dari Prabu Siliwangi, raja legendaris Kerajaan Pakuan Pajajaran.

————————————–

MITOS KAMPUNG KECIREBONAN


Cerita mitos, yang diduga paling tua pada masa awal Islamisasi daerah Banten, adalah terkait dengan cerita asal usul sebuah kampung yang bernama Kecirebonan. Kampung ini didirikan oleh Kibuyut ‘Afil atas perintah Syarif Hidayatullah, yang kelak dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.

Untuk melaksanakan perintah tersebut, Kibuyut ‘Afil pergi dari Cirebon ke Banten atas bimbingan gaib Sinuhun Panembahan Maulana Syarif Hidayatullah gelar Sunan Gunung Jati. Setibanya di Banten, Kibuyut ‘Afil mulai mencari sebuah tempat untuk dijadikan tempat tinggal Syarif Hidayatullah.

Sementara itu, dari Cirebon Syarif Hidayatullah melemparkan sebuah tongkat ke arah Banten. Lemparan itu dilakukan oleh Syarif Hidayatullah seiring dengan keberangkatan Kibuyut ‘Afil ke Banten. Tongkat itu jatuh di sebuah tempat yang sekarang bernama Kecirebonan dan di tempat itulah Kibuyut ‘Afil mendirikan tempat tinggal untuk Syarif Hidayatullah.

Ketika Syarif Hidayatullah tiba di Banten untuk mengislamkan daerah ini, ia tinggal di kampung yang yang telah didirikan oleh Kibuyut ‘Afil. Setelah memandang anaknya, Maulana Hasanudin, cukup ilmu untuk menyebarkan agama Islam, Syarif Hidayatullah meninggalkan Banten dan kembali Cirebon. Sementara itu, kampung sebagai tempat tinggal Syarif Hidayatullah terus dijaga oleh Kibuyut ‘Afil sampai ia meninggal dunia.

Oleh karena itu, sampai sekarang kampung itu dinamai kampung Kacirebonan.

————————————–

MITOS PRABU PUCUK UMUN


Berkaitan dengan kekalahan Prabu Pucuk Umun oleh Maulana Hasanudin terdapat sebuah mitos yang diceritakan secara lisan dari satu generasi ke generasi lain. Cerita itu oleh masyarakat Lebak dikenal dengan nama tubuy yang merupakan cerita pantun yang dituturkan secara lisan. Isi cerita ini mengacu kepada nama tempat yang sangat dikeramatkan di Banten Selatan dan dipergunakan untuk memperingati peristiwa kekalahan Prabu Pucuk Umun oleh Maulana Hasanudin. Menurut cerita ini, Prabu Pucuk Umun merupakan wakil Raja Sunda untuk daerah Banten dan leluhur para puun suku Baduy.

Dikisahkan dalam cerita tubuy, Maulana Hasanudin merupakan putra sulung Sunan Gunung Jati yang datang ke Banten untuk mengislamkan wilayah barat Kerajaan Sunda. Dalam melaksanakan tugasnya itu, Maulana Hasanudin disertai oleh dua orang pembantunya yang bernama Agus Jo dan Mas Lei. Upaya mengislamkan Prabu Pucuk Umun tidak dapat dilakukan oleh Maulana Hasanudin secara langsung melainkan harus melalui pertarungan di antara keduanya.

Adu kesaktian ini dilakukan karena Prabu Pucuk Umun hanya bersedia memeluk Islam kalau kesaktiannya dikalahkan oleh kesaktian Molana Hasanudin. Jenis pertandingan yang disepakati oleh kedua orang yang sama-sama sakti ini adalah mengadu ayam. Ayam Pucuk Umun diciptakan dari besi baja, berpamor air raksa, berinti besi berani, dan diberi nama Jalak Rarawe. Sedangkan ayam Molana Hasanudin merupakan penjelmaan jin. Ayam putih ini berasal dari serbannya yang dihentakkan sekali dan diberi nama Jalak Putih.

Kedua jenis ayam ini mencerminkan sifat masing-masing pemiliknya. Jalak Rarawe merupakan ayam yang terlihat sangat garang sebagai cerminan bahwa Prabu Pucuk Umun memiliki sifat dendam kesumat. Sementara itu, Jalak Putih kelihatan tenang dan sabar yang mencerminkan keluhuran budi pekerti yang dimiliki oleh Molana Hasanudin. Dalam pertandingan itu, Jalak Rarewe dapat dikalahkan oleh alak Putih dan bertepatan dengan kekalahan itu, si Jalak Putih kembali kepada wujud aslinya. Melihat kejadian itu, Prabu Pucuk Umun sangat kaget dan berseru “Ketahuilah Hasanudin bahwa kekalahanku kali ini hanya merupakan sebagian terkecil dari seluruh kesaktianku dan aku belum menyerah kalah, apabila kau sanggup susullah aku”.

Dengan kekalahan itu, seharusnya Prabu Pucuk Umun takluk kepada Maulana Hasanudin dan memeluk Islam. Akan tetapi, perjanjian dengan Molana Hasanudin dilanggar oleh Pucuk Umun. Ia tidak mau memeluk agama Islam dan memilih untuk memusnahkan dirinya dengan berubah menjadi burung beo.

Burung beo jelmaan Pucuk Umun itu kemudian terbang meninggalkan Maulana Hasanudin agar ia tidak ditangkap oleh Maulana Hasanudin. Ketika sedang terbang mengembara, Pucuk Umum melihat hamparan pasir sehingga merasa tertarik untuk turun kembali ke bumi. Ketika telah mendarat di bumi, burung beo itu menjelma kembali menjadi Prabu Pucuk Umun.

Setelah dirinya menjadi manusia lagi, Pucuk Umun menemukan sisa-sisa rakyatnya yang tidak mau masuk Islam dan mendirikan perkampungan baru di daerah Banten Selatan, tepatnya di daerah Lebak. Berdasarkan cerita ini, sebagian masyarakat Lebak menamakan tempat Pucuk Umun menjadi burung beo sebagai Cibeo, tempat burung beo melihat  hamparan pasir dan berubah kembali menjadi Pucuk Umun sebagai Cikeusik, dan tempat Pucuk Umun mendirikan perkampungan baru dinamai sebagai Cikartawana.

Mitos tentang kekalahan Pucuk Umun ketika beradu kesaktian dengan Maulana Hasanudin memang tidak ditemukan di setiap tradisi lisan atau cerita rakyat. Dalam suntingan Sajarah Banten yang lain, diceritakan bahwa Pucuk Umun itu tidak pernah bertanding untuk mengadu keasktian dengan Maulana Hasanudin. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Pucuk Umum telah memperkirakan bahwa dirinya sebagai penguasa Pakuan Pajajaran yang berkuasa di Banten Girang akan digantikan oleh Maulana Hasanudin. Oleh karena itu, ia kemudian memusnahkan dirinya karena tidak mau tunduk kepada Maulana Hasanudin, seperti yang dinyatakan dalam Sadjarah Banten.

Pucuk Umun lalu tahu

Jika (ia) akan kedatangan

(orang) yang diperintahkan untuk menggantikan,

terbayang dalam pengamatannya

tidak dapat (tidak) kelak

(ialah orangnya yang akan menjadi) Raja Pakuan

(menggantikan) yang namanya Prabu Seda

maka hilang, musnahlah ia

patutlah diketahui, (bahwa) ia itu,

Prabu Seda itu,

adalah anak Hyang

Prabu Seda Pakuan,

yaitu anak dari

Prabu Mundhing Kawatgita

Ada juga yang meneritakan bahwa ketika ayam Pucuk Umun kalah oleh ayam Maulana Hasanudin, Pucuk Umun menguji kesaktian Maulana Hasanudin dengan cara bersembunyi dan meminta Molana Hasanudin untuk menemukan tempat persembunyiannya itu. Tantangan itu diterima oleh Molana Hasanudin dan segera memerintahkan kedua jin santrinya untuk mengejar dan menangkap Pucuk Umun. Setelah mengejarnya, kedua jin santri Molana Hasanudin berkata kepada majikannya “Maaf Tuan, Pucuk Umun menghilang”. Kemudian berkata Molana Hasanudin, “Yah sudahlah santri jin, barangkali sudah kehendak Tuhan Yang Agung, mungkin sudah kehendak-Nya kalau Pucuk Umun menjadi iblis atau kafir siluman selama-lamanya”. Dalam salah satu cerita rakyat, Pucuk Umun menghilang di Tubuy dan masuk ke dalam bumi sampai tidak pernah kelihatan lagi.

lalu Pucukumun terbang dari

jungkulan langsung

ke Tubuy, lalu musnah Pucukumun

hilang di Tubuy

lalu tidak keluar lagi,

lalu Pucukumun masuk ke dalam bumi

hilang tak kehilatan

Suntingan Sajarah Banten lainnya yang digubah dalam bentuk prosa menceritakan bahwa Pucuk Umun telah mengetahui maksud kedatangan Molana Hasanudin yaitu untuk mengislamkan daerah Banten dan menggantikan kedudukan dirinya sebagai Raja Pakuan yang berkuasa atas wilayah Banten Girang. Oleh karena itu, sebelum Molana Hasanudin menginjakkan kakinya di tanah Banten, ia memusnahkan dirinya karena tidak mau memeluk Islam dan menjadi bawahan Molana Hasanudin.

Selain itu, diceritakan pula bahwa adu ayam yang dilakukan oleh Molana Hasanudin bukan untuk mengalahkan Pucuk Umun, tetapi untuk memancing agar penduduk dari daerah lain lebih banyak lagi yang datang ke Banten.

Berkata Molana: Hai sekalian ajar, mari kita sepakat, semua mencari

tempat untuk bermain mengadu ayam, tempat yang baik untuk kita.

Maka berkata semua ajar: Baik. Maka semua ajar mencari tempat,

menemukan tempat di Weringin Lancar. Berkata ajar: Nah, ini tempat

yang baik. Maka dibersihkanlah tempat itu sehingga terang, maka

pulanglah ajar, memberitahukan kepada lurahnya, Pucuk Umun. Maka

berkata Molana: Apakah ada yang mempunyai ayam? Berkata semua

ajar: Ada, hamba punya. Nah, mari kita bermain. Maka mereka semua

main di Lancar, maka lama kelamaan tersebar berita tentang

keramaian mengadu ayam, mereka berjudi, maka orang-orang dari

daerah pinggiran, datang dan ikut mengadu ayam.

————————————–

MITOS PANGERAN ARYADILLAH

Selain mitos yang terkait dengan masa transisi dari kekuasaan Hindu ke Islam, terdapat juga mitos yang hidup di sebagian masyarakat Banten ketika di daerah ini sudah berdiri Kesultanan Banten. Ada mitos yang menceritakan tentang faktor yang mendorong majunya Kesultanan Banten, mitos yang bercerita kesaktian kerabat sultan, dan cerita yang ditujukan untuk menutup-nutupi perilaku penguasa Banten.

Masyarakat di daerah Banten mengenal sebuah cerita rakyat yang mengisahkan seorang tokoh bernama Pangeran Aryadillah. Dalam kehidupan nyata masyarakat Banten, keberadaan tokoh ini didukung oleh adanya dua makam di lokasi berbeda yang diyakini sebagai makam Pangeran Aryadillah. Makam pertama terletak di Banten dan yang satu lagi terdapat di Palembang.

Lebih dari sekedar itu, sampai saat ini pun meninggalnya Pangeran Aryadillah melahirkan silang pendapat. Sebagian masyarakat berkeyakinan bahwa Sang Pangeran  memang sudah meninggal, tetapi sebagian masyarakat yang lain menganggap bahwa Pangeran Aryadillah belum meninggal melainkan ngahyang ke alam gaib.

Menurut cerita ini, Pangeran Aryadillah merupakan putra seorang raja di Banten. Akan tetapi, ia sendiri tidak tahu siapa ayahnya itu. Ia kemudian bercerita kepada Hasnudin. Setelah mendengar penuturan Pangeran Aryadillah, Hasnudin meminta dirinya untuk membuktikan bahwa dirinya memang anak seorang raja Banten. Hasnudin menyuruh Aryadillah untuk merontok seluruh daun beringin dari pohonnya tanpa tersisa sehelai pun. Aryadillah menyanggupi permintaan Hasnudin kemudian bertapa di bawah pohon beringin yang akan dirontokkan seluruh daunnya itu. Dalam pertapaannya itu, ia meminta bantuan kepada ibu dan  kakeknya agar kesaktiannya bisa merontokkan seluruh daun pohon beringin itu.

Tidak lama kemudian, dengan kesaktian yang dimilikinya, pohon beringin itu ditiup oleh dirinya hingga seluruh daunnya rontok. Tidak ada daun yang rusak atau tertinggal di pohonnya walaupun hanya selembar. Setelah berhasil menjawab tantangan Hasnudin, Aryadillah akhirnya diakui sebagai anak raja Banten dan namanya menjadi Pangeran Aryadillah.

Setelah dirinya diakui sebagai anak raja Banten, Pangeran Aryadillah diberi tugas oleh ayahnya untuk mengusir semua dedemit yang ada di sekitar keraton. Setelah itu, ia pun pergi ke perairan Teluk Banten untuk melakukan tugas yang sama sehingga petilasannya sampai sekarang dikenal dengan sebutan Karang Hantu. Selain  berhasil menaklukkan para dedemit, Pangeran Aryadillah pun berjasa dalam menaklukkan Prabu Pucuk Umun di Banten Girang dan  bersama-sama dengan Maulana Yusuf berhasil menghancurkan pusat kekuasaan Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran.

Ketika Maulana Muhammad Nasrudin menjadi penguasa Banten, kesaktiannya diperlukan oleh sultan yang berencana hendak menyerang Palembang. Atas perintah Maulana Muhammad, ia berangkat ke Palembang untuk menaklukkan negeri tersebut. Akan tetapi, di tempat inilah pasukan yang dipimpinnya mengalami kekalahan hingga dirinya gugur. Oleh karena kesaktian yang dimiliki oleh dirinya, sebenarnya Sang Pangeran tidaklah gugur melainkan menghilang dan masuk ke alam gaib. Sampai sekarang, tempat yang diyakini sebagai makam Sang Pangeran oleh sebagian masyarakat Banten selalu diziarahi untuk mendapatkan berkahnya.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam tradisi masyarakat Banten, peranan Sunan Gunung Jati dalam proses berdirinya Kesultanan Banten kurang begitu menonjol. Hal ini bisa dilihat dari suatu kenyataan bahwa masyarakat Banten selalu merujuk kepada Maulana Hasanudin sebagai pendiri Kesultanan Banten. Hal yang sebaliknya terjadi di Cirebon bahwa baik Kesultanan Banten maupun Kesultanan Cirebon didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Ketika Sunan Gunung Jati masih berkuasa di Cirebon hubungan antara kedua kesultanan ini begitu harmonis. Akan tetapi, ketika Sunan Gunung Jati telah meninggal dunia, hubungan tersebut menjadi kurang begitu harmonis. Selain itu, Kesultanan Banten justru semakin berkembang dan menjelma menjadi sebuah pusat kekuasaan Islam di Pulau Jawa bagian barat.

Sementara Kesultanan Cirebon secara perlahan-lahan mengalami kemunduran karena tidak mampu menghadapi kekuatan-kekuatan kerajaan yang ada di sekitarnya, yakni Banten dan VOC di sebelah barat, serta Mataram di sebelah timur. Nah, kondisi inilah yang melahirkan sebuah cerita yang kemudian dijadikan landasan pembenaran bahwa majunya Banten karena memang simbol kekuasaan Cirebon telah berpindah ke Banten.

————————————–

MITOS PINDAHNYA SIMBOL KEKUASAAN CIREBON KE BANTEN


Cerita tentang pindahnya simbol kekuasaan Cirebon ke Banten diawali oleh keputusan para wali untuk menghukum mati Syeh Lemah Abang karena memiliki paham keagamaan yang berbeda dengan para wali lainnya. Paham yang dimiliki oleh Syeh Lemah Abang itu sangat berbahaya kalau diajarkan kepada kaum muslimin yang awam. Dengan menggunakan keris Kantanaga milik Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus menusuk tubuh Syeh Lemah Abang sampai meninggal dunia.

Seketika, tubuhnya menghilang dan seiring dengan itu keluarlah suara gaib yang meramalkan masa depan Cirebon. Suara gaib itu berkata, “Bahwa Cirebon akan menjadi negara merdeka sampai anak-cucu, tetapi nanti jika telah datang kerbau putih, anak-cucu harus tahu sendiri”. Sunan Gunung Jati pun membenarkan ramalan suara gaib itu dan hal itu akan terjadi pada generasi kesembilan keturunannya.

Selanjutnya diceritakan dalam Babad Cirebon, terjadilah perkawinan antara Ratu Ayu dan Ratu Bagus Faseh. Ratu Ayu merupakan anak Sunan Gunung Jati sekaligus bekas istri Sultan Demak. Pernikahan itu melahirkan seorang putri yang bernama Ratu Nawati Rarasa yang kemudian dinikahi oleh Pangeran Dipati Pakungja, anak Pangeran Pasarean. Mereka kemudian memiliki putra yang kemudian dikenal sebagai Panembahan Ratu. Setelah Sunan Gunung Jati meninggal dunia, kekuasaan atas Cirebon diserahkan kepada Panembahan Ratu.

Pada masa itu, Mesjid Agung Cirebon terbakar dan bagian atas masjid itu (momolo) meloncat menuju Banten. Sejak saat itu berdirilah Kesultanan Banten yang mengalami perkembangan begitu pesat. Sebaliknya dengan Cirebon, sejak peristiwa itu mengalami kemunduran yang ditandai dengan takluknya Panembahan Ratu atas Sultan Mataram. Selain takluk kepada Sultan Mataram, ia pun kemudian menjadi bayangan penguasa Banten.

Sejak saat itulah, di daerah paling barat Pulau Jawa berdiri Kesultanan Banten yang mengalami kemajuan pesat dan kekuasaannya meliputi sebagian Pulau Sumatera. Kejayaan Kesultanan Banten tidak bisa dikalahkan baik oleh VOC maupun oleh Mataram. Hanya karena terjadi konflik intern, kedaulatan Kesultanan Banten sedikit demi sedikit berkurang. Terkait dengan hal ini, sebagian masyarakat Banten mengenal adanya cerita yang kalau diperhatikan cenderung bersifat mitos karena kebenarannya sulit dibuktikan secara historis.

Ketika Kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa, kesultanan ini mencapai masa kejayaannya. Selain itu, ia pun menghadapi dua musuh sekaligus yaitu VOC dan anaknya sendiri yang dikenal dengan sebutan Sultan Haji. Sultan Haji menjadi musuh ayahnya karena terhasut oleh VOC. Permusuhan itu lambat laun menjadi konflik terbuka sehingga terjadilah peperangan terbuka antara bapak dan anaknya. Peristiwa ini sungguh sangat memalukan masyarakat Banten yang dikenal sebagai masyarakat yang menjungjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Untuk menutupi peristiwa tersebut diciptakanlah cerita yang isinya menolak penentangan Sultan Haji kepada ayahnya.

Dalam Wawacan Haji Mangsur, dikatakan bahwa sewaktu masih kecil, Pangeran Abunasr Abdulkahar (Sultan Haji) merupakan seorang anak yang halus budi pekertinya dan amat berbakti kepada orang tua. Ketika usianya sudah cukup dewasa, ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sebelum berangkat ke Mekkah, ia dinasihati oleh ayahnya (Sultan Ageng Tirtayasa) untuk segera pulang ke Banten begitu selesai menunaikan ibadah haji.

Ayahnya meminta kepada anaknya agar sepulangnya dari Mekkah tidak singgah kemana-mana dahulu. Akan tetapi, Pangeran Abunasr Abdulkahar ini lupa akan nasihat ayahnya karena setelah menunaikan ibadah haji, ia tidak langsung pulang ke Banten melainkan terlebih dahulu singgah di Negeri Cina dan menikahi seorang wanita Tionghoa yang sangat cantik. Ketika Pangeran Abunasr Abdulkahar masih tinggal di Negeri Cina, ada seorang laki-laki yang mirip dengan dirinya. Laki-laki itu adalah kakak perempuan yang dinikahi oleh Pangeran Abunasr Abdulkahar.

Laki-laki yang mirip Pangeran Abunasr Abdulkahar ini kemudian meninggalkan negerinya menuju Banten, negeri suami adiknya. Setelah mendarat di Banten, ia kemudian mengakukan diri sebagai Pangeran Abunasr Abdulkahar, putra Sultan Ageng Tirtayasa. Meskipun penuh dengan ketidakpercayaan, Sultan dan rakyat Banten menerima kedatangan Pangeran Abunasr Abdulkahar dan memperlakukannya  sebagaimana lazimnya terhadap putra mahkota. Setelah dirinya berada di keraton, VOC mulai melaksanakan rencananya untuk mengadudombakan mereka. Oleh karena itu, terjadilah konflik terbuka antara ayah dan “anaknya” itu.

Selain itu, terdapat pula cerita mitos tentang Sultan Haji yang agak berbeda dengan cerita sebelumnya. Ketika akan menunaikan ibadah haji yang keduakalinya, Sultan Haji singgah dahulu di Pulau Putri. Di pulau ini, ia jatuh cinta kepada seorang putri cantik dan berkeinginan untuk menikahinya. Sang putri mau dinikahi oleh Sultan Haji asalkan seluruh pakaian dan perhiasannya mesti dijadikan mahar pernikahan mereka.

Sultan Haji menyanggupi permintaan Sang Putri dan menyerahkan seluruh pakaian dan perhiasannya kepada Sang Putri. Oleh Sang Putri, mahar pernikahannya itu diberikan kepada kakaknya yang kebetulan berwajah mirip dengan Sultan Haji. Setelah mengenakan pakaian dan seluruh perhiasan Sultan Haji, kakak Sang Putri kemudian berlayar ke Batavia dan mengaku diri sebagai Pangeran Abunasr Abdulkahar (Sultan Haji). Rakyat Banten mengakuinya, karena memang wajahnya amat mirip dengan Sultan Haji asli.

Apalagi dengan mengenakan pakaian dan perhiasan Sultan Haji, sempurnalah ia sebagai Sultan Haji palsu. Dialah yang kemudian berperang melawan Sultan Ageng Tirtayasa dan memerintah Banten. Selang beberapa tahun, Sultan Haji asli pulang ke Banten dan melihat keadaan Banten yang sudah berubah. Untuk menjaga jangan sampai terjadi keributan di negerinya, ia kemudian pergi ke Cimanuk, Cikadueun, Pandeglang. Di sana ia aktif menyebarkan agama Islam  hingga meninggal dunia. Dialah yang kemudian dikenal dengan nama Haji Mansyur atau Syekh Mansyur Cikadueun.

Cerita rakyat yang telah disajikan itu merupakan mitos yang terkait dengan masa perpindahan kekuasaan dari Kerajaan Sunda kepada Kesultanan Banten dan mitos yang bertalian dengan keberadaan Kesultanan Banten. Cerita itu dikategorikan sebagai mitos karena memang sangat sulit untuk dibuktikan secara historis. Musnahnya Pucuk Umun yang kemudian menjelma menjadi burung beo, kemudian ayam Pucuk Umun yang terbuat dari pasir besi dan ayam Maulana Hasanudin yang merupakan jelmaan jin merupakan cerita yang sulit untuk diterima oleh akal sehat.

Demikian juga dengan penentuan tempat tinggal Sunan Gunung Jati yang dilakukannya dengan melemparkan tongkat dari Cirebon dan cerita mengenai kesaktian serta terdapat dua orang Sultan Haji, merupakan cerita yang sangat sulit dibuktikan secara historis. Cerita-cerita mitos itu kemudian hidup di tengah-tengah masyarakat dan kemudian dipandang sebagai bagian dari cerita masa lalu masyarakat Banten.

————— kembali ke menu  awal —————

Pos ini dipublikasikan di 01 Sejarah. Tandai permalink.

14 Balasan ke Mitos – mitos yang beredar di masyarakat Banten Kidul

  1. Muzzakir Taufik Abdullah berkata:

    cerita ini memang sama dengan cerita orang tua dulu jaman sekarang,
    akan tetapi ada sedikit yang saya tdk paham,masalah sultan haji yg menurut orang tua beliau stelah naik haji yg pertama pulang ke negara Malaysia akan tetapi menurut cerita ini sultan haji plng ke negeri cina apakah yg di maksud malaysia itu adalah negara cina??? Trims.

  2. Iim Mulyana berkata:

    Mudah2an ini bisa menjelaskan ttg Sultan Haji ini :

    Masa pemerintahan Sultan Haji dipenuhi dengan pemberontakan-pemberontakan dan kekacauan di segala bidang. Sebagian besar rakyat tidak mengakui dirinya sebagai Sultan. Oleh sebab itu, kehidupan Sultan Haji selalu ada dalam keadaan kegelisahan dan ketakutan. Bagaimana pun juga sebagai seorang manusia, penyesalannya terhadap perlakuan buruknya terhadap ayah, saudara, sahabat dan prajurit-prajuritnya yang setia selalu ada.

    Tapi semuanya sudah terlanjur. Kompeni yang dulu dianggap sebagai sahabat dan pelindungnya, sekarang bahkan menjadi tuan yang harus dituruti segala kehendaknya. Karena tekanan-tekanan itu akhirnya Sultan Haji jatuh sakit sampai meninggal pada tahun 1687. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Sedakingkin sebelah utara Masjid Agung, sejajar dengan makam ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa.

    Melihat sejarah Sultan Haji yang demikian memalukan itu, maka timbullah cerita-cerita rakyat yang hampir semuanya jauh dari data sejarah yang ada. Diceritakan bahwa yang melawan Sultan Ageng Tirtayasa bukanlah Sultan Haji, anaknya, tapi orang lain yang berasal dari Pulau Putri atau Pulau Majeti. Sewaktu Sultan Haji pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya, ia singgah di suatu pulau yang dinamakan Pulau Putri atau Pulau Majeti.

    Di sana Sultan bertemu dengan seorang putri cantik yang kemudian ia jatuh cinta dan menikahinya. Dan atas permintaan sang putri, semua pakaian dan perhiasan Sultan diserahkan sebagai mahar. Pakaian dan perhiasan ini kemudian diberikan kepada kakak sang putri yang kebetulan berwajah mirip dengan Sultan Haji. Kakaknya inilah yang kemudian berlayar ke Batavia dan mengaku bernama Sultan Haji.

    Karena pakaian dan wajahnya yang memang mirip, rakyat pun mengakuinya. Dialah yang kemudian memerintah Banten dan berperang dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah selang beberapa tahun kemudian, Sultan Haji (yang asli) pulang ke Banten, dan melihat keadaan Banten yang sudah berubah, dan untuk menjaga jangan terjadi keributan ia pergi ke Cimanuk-Cikaduen, Pandeglang, aktif menyebarkan agama Islam sampai meninggalnya. Dialah yang kemudian dikenal dengan nama Haji Mansur atau Syekh Mansur Cikaduen.

    Cerita semacam ini dianggap sangat lemah dalam data sejarah, dan hanyalah dianggap sebagai dongeng yang mengandung nilai filosofis.

    Terima kasih atas kunjungannya, ikuti posting-posting berikutnya…..

    • sangeyang sirr berkata:

      he3x…..kenapa aneh atau malu,mengakui bahwa sultan haji adalah menghianati ayahnya. wong anak Nabi Nuh aja menentang ayahnya. anak Nabi lho?? manusia biasa ngga ada jaminan …….

  3. Kadek epi berkata:

    Saya sangat tertarik dengan ceritera/dongeng Nyi Roro Kidul….mohon diberi penjelasan lebih luas…karena saya sangat mengagumi kecantikan…dan mytos kekayaanya juga… mohon dikirim dongengnya ke email saya, terima kasih

  4. andi berkata:

    Asslmualaikum,,,,
    saya ingin brtanya tentang syeikh al madat,,, yg d beri gelar panglima debus,,,,,,
    sya udah nanya kmana2, tpi blum mnmukan jwban yg pas..

  5. indra berkata:

    Saya mau tanya,almarhum bapak saya pernah bercerita bahwa salah satu leluhur saya adalah yg pertama masuk islam dibanten dan sempat pergi kemekkah untuk belajar dg salah seorang sahabat nabi yaitu umar bin khattab.Kalau tdk salah setiap shalat saya sering mengirim doa untuk leluhur saya antara lain:Ki buyut Muchtar,Ki buyut Saman,Ki Buyut Ladi,Ki buyut Tanda, mereka semua berasal dari baduy kidul ,apakah ada catatan ttg mereka di sejarah islam banten,karena hampir semua keturunan dari alm.bapak saya banyak yg tewas karena beradu ilmu pada masa itu sehingga tdk ada lagi yg tersisa.Masa kecil bpk saya selalu bermain dekat arca domas baduy.Terima kasih kalau ada informasi buat saya sehingga tdk kehilangan jati diri sebagai anak keturunan leluhur Banten

  6. abdi nusantara berkata:

    kemungkinan besar prabu pucuk umun dikalahkan oleh kemajuan teknologi yang dimilki pihak lain, baik teknologi persenjataan dan maupun pencitraan media waktu itu, sehingga dibuatkan cerita sebagai pihak yang kalah, bisa jadi prabu pucuk umun memilih menyingkir menghindari konflik, ini bisa dilihat dari sisa keturunan atau sisa warganya cinta damai, sangat jujur dan mandiri

  7. endy berkata:

    sy tertarik dengan cerita nyi roro kidul, dan mohon kiranya sy dapat diberitahu silsilah nyi roro kidul tersebut, terima kasih

  8. didi. berkata:

    ciakduen.. seseorang ustad muda, telah bercerita ikhwal hari hari padat di cikaduen. dan para tokoh dikampung.. juga jika berdoa.. juga disebut…doa terkirim untuk ssepuh cikaduen… saya ingin mengunjungi..tapi sampai saat ini belum sempat kesampaian.. adakah yg memberi arah petunjuk jalan..

    • hasan basri berkata:

      jika anda berasal dari jakarta..ambil jalan tol jakarta – merak,keluar serang timur menuju serang kota,belok kiri ambil jurusan pandeglang..masuk kota pandeglang lurus kearah labuan..nanti anda menemukan alamat jalan cimanuk – cikaduen penjarahan syeh mansyur,tanya penduduk sekitar..InsyaAllah sampe tujuan.

  9. rangga berkata:

    sebelum ada prabu siliwangi, dia sudah terlebih dulu ada
    jadi apakah dia anak prabu siliwangi? tentu tidak

  10. baban rahman berkata:

    Kerajaan kecil Ciancang

    Senin, 18 Februari 2013
    CIANCANG

    makam di gunung jati desa utama

    A. Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Ciancang
    Kerajaan kecil Ciancang yang setara dengan Kabupaten di Priangan di bawah kekuasan Kerajaan Mataram berawal dari Kerajaan Galuh Kertabumi yang didirikan oleh Raja Galuh Maharaja Sanghiyang Cipta yang berkedudukan di Salawe Cimaragas. Selanjutnya putri raja Galuh yang bernama Tanduran Ageung menikah dengan Rangga Permana putra Prabu Gesan Ulun Raja Sumedang Larang. Setelah menikah diberi hadiah daerah Muntur ditepi sungai Cimuntur maka berdirilah kerajaan Galuh Kertabumi. Kertabumi yang berpindah – pindah ke Pataruman di daerah Banjar pada tahun 1608 – 1618 oleh Dalem Wiraperbangsa atau Rd. Ad singaperbangsa I, kemudian berpindah lagi oleh Adipati Singaperbangsa II ke Liunggunung pada tahun 1630 – 1641 M. Tidak sampai di situ, pusat pemerintahan berpindah lagi ke Bojong Lompang oleh Singaperbangsa III atau Dalem Pagergunung pada tahun 1641 – 1654 M. Dan sekali lagi berpindah ke Ciancang pada tahun 1655 M oleh Adipati Panatuyuda I atau Wiraperbangsa IV. Alasan perpindahan itu dikarenakan atas dasar rekomendasi keluarganya yang berkeinginan mendekati leluhurnya yaitu Prabu Dimuntur. Selanjutnya berpindah lagi ke Ciancang karena wilayah Ciancang di anggap sangat strategis dekat dengan pemerintahan pusat

    Di bawah kekuasan Mataram, para bupati di priangan berkuasa seperti raja. Kehidupan mereka mirip dengan kehidupan raja – raja dalam ukuran lebih kecil. Setiap raja kecil ini atau biasa disebut bupati ini memiliki simbol – simbol kebesaran, seperti songsong ( payung kebesaran ), pakian kebesaran, senjata pusaka, kandaga ( kotak perangkat kebesaran upacara ), kuda tunggang, dan lain – lain. Mereka juga memiliki pengawal Khusus dan bersenjata. Atas dasar itu, dalam pandangan rakyat, bupati memilki otoritas penuh, baik sebagai kepala daerah maupun sebagai pemimpin tradisioanal. Hal ini berarti bupati di priangan seolah – olah berfungsi dan berperan sebagai wakil penguasa Mataram atau raja kecil tetapi masih di bawah kekuasaan Mataram.
    Kedudukan dan kekuasan bupati diperkuat lagi oleh hak istimewa bupati untuk mewariskan jabatan. Salah satu bukti bahwa bupati di priangan mendapatkan hak mewariskan jabatan dan kekuasan penuh atas dasar daerahnya adalah Piagam Sultan Agung yang bertiti mangsa 9 Muharam tahun Jim Akhir yang diberikan kepada Bupati Surakarta. Dalam piagam itu antara lain disebutkan hak bupati untuk meguasai daerah hingga tujuh turunan.Selain mendapatkan hak untuk mewariskan jabatan, raja kecil ini juga memperoleh hak untuk memungut pajak berupa uang, tenaga kerja ( ngawula ), berburu, menangkap ikan, dan mengadili kecuali hukuman pidana mati.
    Tinggi rendahnya kedudukan bupati dalam pemerintahan dapat diketahui dari gelar kepangkatan yang disandangnya. Hiererarki ke pangkatan bupati dari bawah ke atas adalah: tumenggung-aria-adipati-pangeran.Gelartumenggung diperoleh secara langsung pada waktu diangkat menjadi bupati, sedangkan gelar aria, adipati, diperoleh karena kondite yang baik dan telah menunjukan jasa yang pantas dihargai. Selain memiliki gelar kepangkatan, bupati di priangan juga memiliki gelar kepriyaian, yaitu raden.
    Menurut keterangan yang didapatkan penulis dari berbagai sumber , Daerah Ciancang pernah di serang oleh para penjarah atau lazim disebut dengan nama Pasukan Wetan sebanyak tiga kali. Pada waktu itu penjarah dari Banyumas sekitar 2.000 orang menyerang Ciancang yang mengakibatkan banjir darah. tempat kejadian perkara tersebut di duga berada di dusun Cibeureum desa Utama ( Ciancang ) kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis. Penyerangan dilakukan tiga kali, yaitu :

    Pada masa pemerintahan Ny. Rd. Ayu Rajakusumanagara / Dalem Isrtri ( 1718 – 1736 M ).
    Pada masa Dalem Adipati Jayakusu Manggala / R.d. Tum. Wiramnatri II ( 1736 – 1762 M ).
    Pada masa Dalem Adipati Surianagara / R.d Tumenggung Wiramantri IV ( 1787 – 1789 M ).

    Pada saat terjadinya penyerangan Ny. Rd. Tejakusuma di duga lari menghindari serangan yang dilakukan oleh penjarah dari Banyumas itu. Beliau selamat dan mempunyai keturunan.
    Atas dasar penyerangan itu pada masa Kyai Mas Jalipan / panembahan Warganala IV, nama Ciancang di hapuskan dan diganti menjadi Utama dengan perhitungan mundur dari bilangan Nista ( tiga ), Maja ( dua ), dan Utama ( satu ).

    B. Hubungan Kerajaan Ciancang Dengan Kerajaan Galuh
    Ciancang di dirikan pada tahun 1655 oleh Dalem Wirasuta atau Wiraperbangsa VI yang bergelar Adipati Panatayuda I perpindahan dari Kertabumi. Beliau mahir bela diri sehingga mendapat julukan Mas Galak. Beliau menjadi bupati Ciancang selama tiga tahun karena mendapat tugas menjadi bupati Karawang dan membasmi para penjahat yang sering mengganggu ketertiban wilayah Mataram sebelah barat. Ketika beliau menjadi bupati Karawang kekuasaan Ciancang di pegang oleh anak bungsunya yaitu Candramerta. Wirasuta adalah putra dari Apun Pagergunung ( bupati Kertabumi IV ) beristeri Nyai Ajeng Asrinagara, puteri Dalem Jangpati Jangbaya. Apun Pagergunung ( bupati Kertabumi IV ) ayahnya adalah Apun Tambakbaya ( Bupati Kertabumi V ). Sang Raja Cita ( Adipati Kertabumi I ) adalah ayah dari Apun Tambakbaya. Silsilah ini sampai pada Prabu Dimuntur pendiri Kerajaan Galuh Kertabumi. Bila ditelusuri lebih jauh Ciancang adalah tetesan dari darah Prabu Dimuntur atau Pangeran Rangga Permana. Pendiri Kerajaan Galuh Kertabumi ini adalah putra dari Prabu Geusan Ulun ( Sumedang Larang ). Kerajaan Sunda runtuh akibat serangan Maulana Yusuf dari Banten, Maharaja Sanghiyang Cipta Di Galuh tampil penguasa Kerajaan Galuh yang berdiri sendiri dan bertahan hingga 1595 Pusat kekuasaannya terletak di sekitar Cimaragas.
    Maharaja Sanghiyang Cipta Permana Di Galuh merupakan Raja Galuh terakhir yang beragama Hindu dan setelah meninggal jasadnya dilarung diCiputraPinggan.Maharaja Sanghiyang Cipta Di Galuh memiliki tiga orang putra, yaitu Tanduran Ageung (Gayang) di Kertabumi; Cipta Permana (di Galuh Gara Tengah); Sanghiyang Permana (di Kawasen).Prabu Cipta Permana masuk Islam karena beliau menikah dengan Tanduran Tanjung Putri Maharaja Mahadikusumah ( Tanduran Di Anjung ) penguasa Kawali yang bergama Islam, karena Kawali mulai tahun 1570 M sudah dibawah kekuasaan Cirebon.
    Gambar I. SILSILAH GALUH CIANCANG
    Maharaja Cipta Sanghiyang ( Raja Galuh Salawe )

    Rangga Permana + Tanduran
    Maharaja Upama Sanghiyang Permana
    Gagang
    ( Putra Gesan Ulun Sumedang )
    ( 1585 – 1602 )
    Bupati Kertabumi I

    1. Sang Raja Cita ( 1602 – 1608 ) Bupati Kertabumi II
    2. Singa Perbangsa I ( 1608 – 1618 ) Bupati Kertabumi III
    3. Singa Perbangsa II ( 1630 – 1641 ) Bupati Kertabumi IV
    4. Singa Perbangsa III ( 1641 – 1654 ) Bupati Kertabumi V
    5. Singa Perbangsa IV ( 1654 – 1656 ) Bupati Kertabumi VI
    ( Memindahkan dari Bojong Lompang ke Ciancang )

    BUPATI CIANCANG

    1. Dalem Apun Candramerta / Rd. Tumenggung Candramerta ( 1656 – 1658 M )
    2. Dalem Demang Sutabaya / Rd Adipati Singanagara ( 1658 – 1675 M )
    3. Dalem Wiranagara / Rd. Tumenggung Warganata ( 1675 – 1683 M )
    4. Dalem Apun Puspanagara / Rd. Tumenggung Jiranagara ( 1683 – 1685 M )
    5. Pangeran Warganagala I ( 1685 – 1700 M )
    6. Dalem Apun Candramerta ( 1700 – 1714 M )
    7. Ny. Rd. Ayu Rajakusumanagara / Dalem Isrtri ( 1718 – 1736 M )
    8. Dalem Wertayana / R.d Tumenggung Wiramnatri ( 1718 – 1736 M )
    9. Dalem Adipati Jaya Manggala / R.d. Tum. Wiramnatri II ( 1736 – 1762 M )
    10. Dalem Adipati Suriakusuma / R.d. Tumenggung Wiramantri III ( 1762 – 1787 M )
    11. Dalem Adipati Surianagara / R.d Tumenggung Wiramantri IV ( 1787 – 1789 M )
    dan ( 1791 – 1803 M )
    12. Panembahan Warganala IV / kyai Jalipan ( 1789 – 1791 M )

    C. Upaya Pelestarian Peninggalan – Peninggalan Kerajaan Ciancang
    Indonesia yang memiliki wilayah cukup luas dengan daratan hampir dua juta km², terdiri dari berbagai ragam bentuk muka bumi dan alam. Ragam dan bentuk muka bumi ini lah yang menentukan wajah budaya bangsa. Keanekaragaman komponen alam ini bisa menjadikan dua kemungkinan. Pertama bisa memacu bangsanya untuk berkreasi atau sebaliknya. Dengan alam yang aman dan subur bisa juga menjadi bangsanya bermalas – malasan karena dimanja kenikmatan alam.
    Alam yang berubah – ubah cenderung mempengaruhi terhadap budaya manusia. Kekayaan alam dan budaya merupakan warisan bangsa indonesia yang tak ternilai dan perlu dilestarikan. Melestarikan alam dan budaya bangsa merupakan hal yang tidak mudah. Kewajiban manusia lah melalui kemampuanya untuk terus berupaya melestarikan. Sebab alam dan budaya memiliki arti dan peran strategi dalam menjaga kelanjutan dan eksistensi budaya bangsa, seperti pepatah sunda yang berbunyi “ Budaya teh cicirieun bangsa, jaya budayana tinangtu jaya bangsana ”. Ungkapan pepatah tersebut mengandung makna bahwa budaya adalah jati diri bangsa, kalau jaya budayanya tentu juga jaya bangsanya.
    Warisan budaya bangsa ada yang bersifat tangible dan intangible. Warisan yang bersifat tangible adalah warisan yang dapat dipegang dan dipandang. Sedangkan intangible adalah warisan sistem kepercayaan, folkore, bahasa, upacara adat dan sebagainya. Untuk melestarikan warisan yang bersifat tangible pemerintah Indonesia pada tanggal 21 maret 1992 menerbitkan Undang – undang No. 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya sebagai pengganti dari Monumen Ordonantie No. 19 tahun 1931 yang dibuat oleh Hindia Belanda yang dianggap sudah tidak sesuai lagi. Undang – undang No. 5 tahun 1992 memuat tentang ketentuan, tujuan, maupun peraturan yang berkaitan dengan penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan, pengawasan, ketentuan pidana dan peralihan BCB ( Benda Cagar Budaya ).
    Peninggalan sejarah alam dan budaya dalam UU No. 5 tahun 1992 dipersempit menjadi BCB dan situs.
    Batasan BCB menurut pasal No 1 adalah :
    1) Benda buatan manusia, bergerak maupun tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian – bagiannya atau sisa – sisanya, yang berumur sekurang – kurangnya 50 ( Lima puluh ) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
    2) Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, dalam pasal 2 adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamannya.( Katalog “Museum Generasi Muda”, Islamik Center, 2009 : 9 )
    BCB bergerak adalah benda buatan manusia yang dapat dipindahkan dengan mudah tanpa merusak struktur, tempat keberadaan benda tersebut sebagai contoh : keris, perhiasan, naskah kuna, bagian bangunan, arca dll. Sedangakan BCB tidak bergerak adalah suatu benda yang sukar dipindahkan, apabila dipindahkan akan merusak tempat kedudukan benda tersebut, contoh : bangunan, monumen, goa, bekas pondasi dan sebagainya.
    Penanganan warisan intangible belum memeperlihatkan hasil sesuai harapan bahkan belum ada peraturan yang secara khusus menjamin kelestariannya, sehingga dengan kuatnya pengaruh luar dan makin berkurangnya kesadaran masyarakat atas pentingnya warisan yang menyimpan sejumlah nilai, pengetahuan dan kearifan yang dapat dijadikan landasan, tuntunan bagi perkembangan budaya kita di khawatirkan akan terus mengkikis keberadaannya. Dengan dikeluarkanya Perda No. 5,6,7 oleh pemerintahan Provinsi Jawa Barat tahun 2003 diharapkan pelestarian, perlindungan, pemanfaatan, dan pengembangan warisan budaya dapat terakomodasi.
    Ciancang meninggalkan benda – benda yang diduga mengandung sejarah tentang Kerajaan Ciancang yang sebagian besar berbentuk keris, tombak, dan dua buah sumur batu. Benda – benda ini disimpan di salah seorang warga yang mempunyai garis keturunan raja kecil Ciancang sedangkan dua buah sumur batu berada di Dusun Bojongnangoh yang sekarang di manfaatkan warga untuk keperluan sehari – hari masyarakat.
    Peninggalan – peninggalan Kerajaan Ciancang hanya benda – benda pusaka dan sumur batu. Berbeda dengan Galuh Kertabumi meninggalkan tradisi yang masih dipertahankan oleh masyarakat sekitar, yaitu Tradisi Merlawuh, adalah tradisi persembahan do’a kepada tuhan dengan menyajikan berbagai makanan dari sejenis air dan beras yang dilakukan di sekitar makam yang disinyalir sebagai makam pendiri Galuh Kertabumi. Hal ini dapat dipahami karena daerah Ciancang sudah terpengaruhi Islam dari Mataram dan Cirebon yang sangat kuat. Fakta ini dapat diperkuat dengan para pemimpinnya yang bergelar Kyai seperti Kyai Mas Jalipan. Kyai Mas Jalipan adalah seorang panglima perang Ciancang berdarah dari keluarga Agamawan salih masih berdarah Cirebon. Ajaran Islam di Ciancang atau Utama masih melekat kuat di masyarakat setempat sampai sekarang, bahkan di tatar Galuh Ciamis daerah Utama terkenal dengan sebutan daerah pesantren
    Adapun langkah – langkah pelestarian yang dilakukan selama ini adalah dengan pemeliharan benda pusaka, partisipasi masyarakat dan pemerintahan daerah.
    Pencarian dan penulusuran benda – benda pusaka peninggalan Ciancang adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh salah seorang warga yang mengaku keturunan Bupati Ciancang. Beliau mencari bahkan membeli benda – benda pusaka yang berserakan di masyarakat. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat luar Desa Utama bukan masyarakat desa asli Utama. Hal ini terjadi karena tingkat kesadaran dan pengetahuan akan sejarah desanya sendiri sangatlah kurang.
    Ciancang merupakan daerah kabupaten di masa Kerajaan Mataram dan masa VOC. Nama Ciancang di rubah menjadi Utama pada masa VOC karena ada penyerangan dari pasukan wetan. Pusat pemerintahan Ciancang berada di perbukitan antara perbatasan Desa Utama dengan Desa Sukamaju. Hal ini dapat di pahami karena pusat pemerintahan Ciancang di batasi dengan sungai dan parit tujuannya adalah agar dapat menghalau serangan musuh
    Pemeliharaan benda pusaka maupun situs Ciancang seyogyanya mayarakat harus ikut berpartisipasi. Masyarakat merupakan sekelompok manusia yang tinggal dan hidup dalam status sosial yang berbeda dengan tertib. Adapun yang menjadi objek amatan atau objek penelitian ini adalah sekelompok masyarakat yang mencintai akan sejarahnya Ciancang. Partisipasi masyarakat setempat sangatlah di butuhkan karena bisa menjadi objek wisata yang bisa membuka peluang pendapatan perekonomian . Untuk itu masyarakat harus ikut serta dalam melestarikan peninggalan – peninggalan Ciancang. Pada umumnya masyarakat tidak mengetahui akan sejarahnya desa sendiri. Adanya Desa Utama tidak lepas dari sejarahnya. Sejarah bukan hanya untuk diceritakan namun dapat dijadikan cerminan bagi kehidupan masa yang akan datang. Berbicara Kerajaan Ciancang atau Kabupaten Ciancang berarti berbicara tragedi di Ciancang lazim disebut dengan Bedah Ciancang dan Banjir darah di Ciancang. Ironisnya Sebagian masyarakat Desa Utama tidak mengetahui akan tragedi ini. Jika masyarakat ingin mengetahui sejarah desanya secara otomatis mereka akan bertanya – tanya mengenai peninggalan – peninggalan leluhurnya sehingga tertanam pada diri mereka rasa kebanggaan menjadi warga Desa Utama dan tertanam keinginan untuk memelihara peninggalan – peniggalan yang sudah ditemukan sebagai contoh sumur batu yang berada di dusun Bojongnangoh Desa Utama Kecamatan Cijeunjing. Dengan kata lain masyarakat acuh tak acuh kepada saksi bisu akan perjalanan Kerajaan Ciancang
    Selain itu di kalangan masyarakat awam nama Ciancang identik dengan makam para bupati beserta keluarganya yang berada di Gunung Jati tepatnya di dusun Cibereum Desa Utama Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis. Gunung Jati ini masih ada kaitanya dengan Gunung Jati di Cirebon. Gunung Jati di Ciamis adalah tempat menyimpan barang – barang, seperti keris, pedang dan sejumlah uang logam namun terkubur di Gunung Jati. Sedangkan Gunung Jati di Cirebon adalah tempat untuk ziarah. Area makam keluaraga itu di kelilingi oleh pesawahan dan kerap digunakan sebagai tempat keramat oleh masyarakat luar Desa Utama. Ada larangan yang mengandung mitos bagi masyarakat sekitar yaitu, tidak boleh membawa atau menebang kayu di Gunung Jati, apabila sampai terjadi maka kayu itu akan meminta untuk di kembalikan ke tempat semula.
    Mengingat begitu dangkalnya akan pengetahuan sejarah wilayahnya sendiri menjadi kehawatiran penulis, jangan – jangan sejarahnya Ciancang akan punah begitu saja. Oleh sebab itu penulis melanjutkan wawancara ke masyarakat lain yang dinilai sebagai orang yang menelusuri sejarahnya Ciancang. Namun fakta yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya. Ia mengatakan bahwa peninggalan Ciancang berserakan dimana – mana tersebar di seluruh masyarakat luar daerah bukan masyarakat dalam daerah Utama.
    Berdasarakan beberapa pendapat maka penulis menyimpulkan bahwa bagi kalangan masyarakat baik mayarakat biasa maupun masyarakat pegawai negeri, diketahui bahwa upaya pelestarian peninggalan – peninggalan kerajaan kecil Ciancang dari Masyarakat masihkurangdalampelestariannya, masyarakathanyamengabadikannama Ciancang dalam organisasi kepemudaan yaitu, organisasi Karang taruna Ciancang. Bahkan mereka mengatakan bahwa pemerintah yang harus memelihara dan melestariakn peninggalan Ciancang, bukan masyarakat. Masyarakat juga menyinggung tentang pemeliharaan dua buah sumur batu peninggalan Ciancang yang kurang pemeliharaannya. Padahal dua sumur batu itu sangat bermanfaat bagi masyarakat baik dari bidang ekonomi, sosial dan budaya.
    Pemerintahan daerah juga seharusnya ikut melestrikan peninggalan Ciancang karena pemerintahan daerah merupakan pelindung dan pengayom masyarakat, pemerintah daerah seharusnya mampu mejadi pelindung benda cagar budaya yang bersifat lokal. Peranan pemerintah daerah dan pusat sangat dibutuhkan karena secara kelembagaan pemerintah desa bisa bekerja sama dengan Dinas Budaya dan Pariwisata Kabupaten Ciamis. selain itu pemerintahhan daerah Desa Utama pada masa Agus Nurulsyam, S.ip., Ms,i sekarang ini masih menelusuri peninggalan – peninggalan dan sejarahnya Ciancang. Guna memelihara peninggalan – peninggalan leluhurnya supaya bisa di nikmati oleh generasi mereka.

  11. albi berkata:

    apakah ada yang tau sejarah pangeran arya dillah banten

Tinggalkan komentar