Jalur KA Saketi-Bayah adalah jalur Death Railway


PANDEGLANG (14/04)

Tahukah Anda : “Jalur KA Saketi-Bayah adalah Jalur Death Railway  yang banyak memakan korban  jiwa..?”

PANDEGLANG, Jalur Kereta Api  Saketi – Bayah pada saat pembangunannya banyak memakan korban ribuan manusia, dengan jumlah korban fantastis yang terdiri dari tawanan perang / Prisoner Of War (POW) Sekutu dan Romusha. Berikut ini adalah beberapa tulisan yang berkaitan dengan Jalur Kereta Api Saketi – Bayah yang fenomenal itu, tulisan yang saya kutip dari beberapa postingan di internet ini, mudah-mudahan menjadi referensi bagi kita semua.

Pembangunan jalan kereta api punya arti sangat strategis bagi kelanjutan ekspansi tentara Jepang pada Perang Dunia ke-II, dan dikerjakan dengan Sistim Kerja Paksa (slave labour) Romusha dan tawanan perang / Prisoner Of War (POW

Perihal jalur kereta api maut, sejarah mencatat, Jepang menorehkan kisah kejam  di Banten Selatan jalur Saketi – Bayah. Sebelumnya, Jepang sudah membuka jalur kematian dari Thailand ke Burma. Sebuah jalur kereta api yang juga sudah direncanakan oleh pemerintah Inggris, namun karena kondisi alam yang berat maka rencana itu dikesampingkan. Jepanglah yang kemudian mengacak-acak dokumen Belanda dan Inggris dan menemukan rencana jalur tersebut untuk kemudian mewujudkannya melalui tangan, darah, dan nyawa para Romusha yang tak hanya terdiri atas bangsa Indonesia tapi juga Australia, Inggris, Amerika, dan Belanda.

Jadi selama Perang Dunia II (1938-1945) Jepang membangun tiga jalur kereta api di dua wilayah di Asia Tenggara yaitu jalur Thailand-Burma, Muaro Sijunjung-Pekanbaru, dan jalur Saketi-Bayah.  Jepang menggunakan tahanan yang dipaksa kerja dan seperti dikirim ke neraka karena puluhan ribu jiwa melayang dalam proyek pembangunan jalur kereta api tersebut. Jalur kereta api di dua wilayah Indonesia itu tak lagi bersisa, seperti juga tragedi kekejaman Jepang yang seakan terlupakan.

Jalur Saketi – Bayah (Death Railway) pembangunannya dilaksanakan pada tahun 1942-1945.  Pembangunan jalan KA Saketi-Bayah juga merupakan bagian dari strategi perang Jepang bertujuan ganda : pertama mengangkut batu bara dari tambang batu bara Cikotok yang merupakan bahan bakar kereta api dan kapal zaman itu, kedua guna menghindarkan angkutan laut yang sudah mulai terancam oleh serangan torpedo kapal selam sekutu.  Pembangunannya juga dilakukan dengan menggunakan tenaga romusha tanpa POW, tapi melibatkan sejumlah tenaga ahli perkereta apian Belanda yang menjadi tawanan perang Jepang.

Pekerjaan penambangan batu bara inipun dikerjakan dengan penggunaan tenaga romusha. Bantalan kayu dan rel untuk pembangunan jalan KA ini diambil dari seluruh Jawa, sebagaimana halnya juga dengan tenaga romusha yang kebanyakan berasal dari Jawa Tengah, seperti dari Purworejo, Kutoarjo, Solo, Purwodadi, Semarang, Yogyakarta, dan lain-lain. Pembangunan jalan kereta api sepanjang  89 km ini menelan korban yang diperkirakan mencapai 93.000 jiwa romusha.

Bayah yang sibuk dengan aktivitas  pembuatan jalan kereta api dan penambangan batu bara inilah yang juga terkait dengan cerita seputar Tan Malaka. Diceritakan bahwa dikota kecil Bayah inilah Tan Malaka  pernah menetap. Kota yang merupakan tempat yang aman bagi persembunyian Tan Malaka, dan tempat yang cukup tenang guna meneruskan aktivitasnya menuliskan buah-buah pemikirannya tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Walau kisah sejarah ini sangat mencekam dilihat dari korban jiwa romusha yang fantastis itu, ternyata saat ini jejak-jejak sejarah itu sudah hampir-hampir lenyap. Masyarakat banyak yang hanya pernah mendengar kisah ini dan hampir semuanya sekarang bersikap acuh tak acuh. Tempat-tempat yang dulu dikenal sebagai sumur romusha, stasiun Kereta Api, goa-goa bekas penambangan batu bara, semua sudah sulit ditemukan. Rel-rel untuk angkutan batu bara sudah habis diangkut tukang besi untuk dijual.

Satu-satunya apresiasi yang pernah diberikan terhadap para korban ini adalah kehadiran sebuah monumen berupa tonggak setinggi 3 meter, yang terletak di sebelah SLTPN 1. Tugu yang dikhabarkan dibangun oleh Tan Malaka ini berada dalam kondisi tidak terawat dan terkesan diabaikan. Berikut ini adalah beberapa kisah seputar jalan kereta api maut Saketi-Bayah yang diambil dari sejumlah posting di internet :

Jalur Banten Selatan Saketi – Bayah  (Jan de Bruin)

Stasiun Kereta Api Saketi

Setelah tahun 1943, kesulitan hubungan laut  (akibat kegiatan kapal selam Sekutu) menimbulkan masalah bahan bakar di Jawa. Sebelum perang, sebagian besar lokomotif menggunakan bahan bakar batu bara, dan sebagiannya kayu jati. Produksi kayu per tahun adalah sekitar 300 ribu ton, sebagian besarnya dari Dinas Kehutanan (Boschwezen = Perhutani). Untuk kepentingan perusahaan kereta api, diperlukan 900 ribu ton kayu bakar per tahunnya. Maka, sejak tahun 1942, Jepang memiliki gagasan untuk memanfaatkan batu bara muda di sekitar Bayah sebagai bahan bakar.

Jepang mendapatkan sebuah laporan dari sekitar tahun 1900 bahwa cadangan batu bara muda di Bayah mencapai 20-30 juta ton. Jepang memperkirakan bahwa produksi batu bara pertahun mungkin mencapai 300 ribu ton. Namun cadangan batu bara tersebut tersebar di lahan yang luas dan terisolasi. Lapisan batu bara itu juga tipis, hanya sekitar 80 cm, sehingga eksploitasi besar-besaran pada masa damai tidak akan ekonomis. Namun ini adalah masa perang.

Untuk bisa mengeksploitasi tambang-tambang itu, dibangun jalur sepanjang 89 km dari Saketi (sebuah  stasiun di jalur Rangkasbitung-Labuan) ke Bayah, di selatan Banten. Rencana jalur mulai dirancang pada bulan Juli 1942, dan pembangunan dimulai awal tahun 1943. Bantalan kayu dan rel dikirim dari seluruh Jawa ke Saketi. Sejak awal tahun 1943 banyak pakar perkeretaapian Belanda dipaksa untuk menyumbangkan keahlian dan pengetahuan mereka untuk pembangunan jalur ini.

Seperti juga di Sumatera, kerja terberat dalam pembangunan jalur ini dilakukan oleh para Romusha. Banyak dari mereka menjadi korban karena kekurangan makan dan penyakit tropis. Angka yang diberikan bervariasi dari 20 hingga 60 ribu, belum termasuk 20 ribu pekerja tambang yang tewas. Daerah berpenduduk jarang ini masih merupakan rimba, rawa-rawa dan bukit-bukit, penuh dengan hewan buas. Ditambah dengan kerja keras dan ketiadaan obat-obatan, tidak kurang dari 500 romusha setiap harinya tewas, namun setiap harinya jumlah yang lebih besar direkrut untuk menjadi pekerja. Pada masa pembangunan jalur ini sekitar 25-55 ribu pekerja membangun jalur ini. Sejauh diketahui, tidak ada tawanan perang yang dipekerjakan untuk membangun jalur ini. Pada bulan Maret 1944 jalur telah siap, dan dibuka pada 1 April 1944 (tepat 61 tahun yang lalu!) oleh para pejabat Jepang. Lokomotif BB10.6 menarik kereta pertama di jalur ini.

Jalur ini berawal di stasiun Saketi, dan berakhir di Gunungmandur, letak tambang batu bara yang terjauh. Stasiun Gunungmandur terletak dua kilometer dari stasiun Bayah. Jalur sepur tunggal ini memiliki sembilan stasiun dan lima halte (yaitu Cimangu, Kaduhauk, Jalupang, Picung, Kerta, Gintung, Malingping, Cilangkahan, Sukahujan, Cihara, Panyawungan, Bayah dan Gunungmandur).

Masing-masing stasiun setidaknya memiliki dua jalur dan bangunan stasiun kecil; Bayah memiliki lima jalur. Selain stasiun Gunungmandur, tujuh stasiun yang lebih kecil dilengkapi dengan sinyal dengan handel kayu. Bayah menggunakan sinyal Alkmaar. Setiap harinya maksimum 300 ton batu bara muda dibawa ke Saketi. Selain batu bara, ada pula kereta api
penumpang, namun karena daerah ini berpenduduk  jarang, sebagian besar penumpang adalah pekerja kereta api atau pekerja tambang. Setiap harinya 800 penumpang bepergian, yang diangkut dengan 15 kereta kelas 3.

Jalur ini dibangun relatif lebih kokoh daripada jalur Pekanbaru, dengan 20 jembatan, semuanya dengan ujung-ujung dari batu. Untuk pembangunan jalur Banten Selatan ini digunakan material kereta api dari pabrik-pabrik gula yang ditutup dan lok tram PsSM No. 12 (B16). Setelah beroperasi, digunakan material SS dan lok BB10.

——- kembali ke halaman depan ——-
Berikut ini photo-photo bekas peninggalan Jalur Kereta Api Saketi – Bayah.
Click untuk memperbesar

MENYUSURI JEJAK ROMUSHA


DEBUR ombak pantai selatan itu menjadi saksi bisu atas penderitaan ribuan orang, sekitar 60 tahun silam. Namun, kini jejak-jejak kekejaman yang menewaskan ribuan rakyat Indonesia itu mulai terhapus oleh sikap acuh tak acuh generasi zaman ini. Sejarah romusha di Pulau Manuk, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Banten, itu kini terancam hilang dari kenangan.

SATU-satunya apresiasi terhadap kegetiran para romusha itu hanyalah berupa tonggak monumen yang berlokasi di sebelah SLTPN 1 Bayah, tak jauh dari Kantor Camat Bayah. Itu pun kurang terawat dan terkesan diabaikan.

Pekan ketiga bulan Juli lalu, bangunan bersisi empat dengan tinggi sekitar tiga meter tersebut mulai menghitam. Rumput-rumput liar memenuhi gundukan tanah pinggir jalan raya, tempat Monumen Romusha itu dibangun.

Bendera merah-putih tidak terpasang sempurna karena kaitan bagian merah terlepas. Merah-putih yang tidak bisa berkibar seolah mengabarkan ketidakberdayaan para romusha di bawah kekejaman penjajah Jepang, tahun 1942-1945.

Pareno (87), salah satu mantan romusha itu, tertegun sejenak ketika menunjukkan lokasi stasiun, tempat parkir berbagai lokomotif kereta api zaman Jepang, di kawasan pantai Pulau Manuk. Bekas stasiun itu hanya menyisakan pal-pal pondasi yang penuh rumput dan tanaman liar.

Tidak jauh dari tempat itu, kuburan para romusha malah tidak ada lagi tanda-tandanya. Kuburan itu hanyalah tanah kosong di sela-sela semak di pantai Pulau Manuk, yang sering terempas ombak ketika laut pasang.

“Tanah di sini sudah dikapling-kapling dan kebanyakan punya orang Jakarta,” tutur Pareno yang menjadi pemandu dadakan saat menyusuri jejak romusha di tempat itu. Selain Monumen Romusha, perlu kerja keras untuk menemukan jejak-jejak romusha di Bayah.

Sumur romusha, stasiun kereta api, goa-goa bekas tambang batu bara di zaman penjajahan Jepang, kuburan romusha, makanan romusha, dan hal-hal lain yang berbau romusha seperti punah begitu saja. “Rel-rel kereta api untuk angkutan batu bara zaman Jepang sudah habis diangkut tukang besi dan dijual,” ujarnya.

Sumur romusha, tempat para romusha mengambil air untuk minum yang terletak di lahan perkebunan, belakang SLTPN 1 Bayah, kini tertutup tanaman liar. Jenis sayuran yang dahulu dikonsumsi para romusha, seperti sayur bunga karang, sayur ganggang laut, dan lodeh empot, sudah sulit didapat di Pasar Bayah.

Upacara peringatan romusha oleh masyarakat setempat, berupa atraksi atau karnaval, pun sudah lama tidak digelar. Menurut Pareno, sudah empat tahun terakhir desanya tidak menggelar peringatan itu seiring dengan meninggalnya para bekas romusha. “Anak-anak muda sekarang malu memperingati upacara itu. Mereka malu kalau diketahui keturunan bekas romusha,” ungkapnya.

Andaikata semua itu masih terawat, niscaya akan menjadi obyek wisata sejarah, melengkapi wisata pantai yang membentang di pesisir Banten Selatan. Keindahan panorama pantai akan diperkaya oleh kedalaman perenungan batin atas perjalanan sejarah negeri ini.

PULAU Manuk adalah salah satu dari beberapa lokasi di Bayah yang menjadi saksi bisu aksi penindasan Jepang terhadap para romusha. Kawasan yang berjarak sekitar lima kilometer dari kota Kecamatan Bayah atau pertigaan Terminal Bayah itu bisa dicapai dari berbagai jurusan. Dari Jakarta, Bayah bisa ditempuh melalui Sukabumi-Pelabuhanratu (Jawa Barat), atau melalui Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak (Banten). Jika melalui Pelabuhanratu, jalur yang dilewati, antara lain Cisolok-Cipicung-Cikotok-Bayah atau Cisolok-Cibareno-Bayah.

Jalur Cisolok – Cibareno – Bayah akan melewati beberapa jalan mendaki dan menurun, tetapi pengunjung akan mendapat suguhan panorama laut selatan, seperti Pantai Cibangban, Cibareno, dan seterusnya. Indahnya pantai selatan di kiri jalan, yang diselingi dengan liukan nyiur dan hamparan sawah di dekat pantai, bisa dinikmati di jalur selatan itu hingga Muarabinuangeun.

Namun, jika menyetir mobil, perlu berhati-hati dan jangan sampai terlena pada keindahan pantai selatan. Di sepanjang jalur selatan itu, masih banyak jalan berlubang kendati masih layak untuk dilalui. Di samping itu, situasi jalan di tempat-tempat tertentu pada jalur itu kadang-kadang sepi.

Jika melalui Rangkasbitung, jalur yang dilewati, antara lain, yaitu Saketi (Pandeglang)-Malingping-Bayah. Sebelum sampai Malingping, pengunjung akan melewati jalan berliku-liku di antara permukiman warga dan area perkebunan dengan kondisi jalan yang sebagian bagus, tetapi sebagian sudah rusak. Setelah melewati Malingping ke arah Bayah, pemandangan pantai selatan terhampar di kanan jalan.

Selain terkenal dengan sejarah romusha, Bayah juga tercatat dalam buku sejarah sebagai tempat persembunyian tokoh Tan Malaka. Di Banten Selatan itu, ia pernah menyamar sebagai mandor pertambangan batu bara dengan nama samaran Ilyas Husein. Tan Malaka sempat mengorganisasi para romusha, membentuk kelompok drama, dan menyelesaikan karya magnum opus-nya, Madilog.

Pada zaman penjajahan Jepang, tulis Adhy Asmara dalam Pesona Wisata Zamrud Katulistiwa Banten, kapal-kapal perang Jepang banyak yang melakukan pendaratan di seputar muara Cimadur, Pantai Bayah. Saat itu, Bayah dikenal sebagai penghasil utama batu bara, yang digunakan untuk bahan bakar kereta api, kapal laut, dan pabrik.

Penambangan batu bara, antara lain dengan pembuatan lubang-lubang tambang batu bara di Gunung Madur serta pembuatan rel kereta api Bayah-Seketi untuk mengangkut batu bara, diperkirakan memakan korban kurang lebih 93.000 romusha. Pareno mengungkapkan, sebagian besar romusha itu didatangkan dari Jawa Tengah, seperti Purworejo, Kutoarjo, Solo, Purwodadi,Semarang, Yogyakarta, dan lain-lain.

SEJARAH Romusha di Bayah merupakan potensi wisata sejarah yang diabaikan. Potensi itu sebenarnya akan melengkapi potensi wisata pantai selatan dan wisata ke gua-gua alam. Namun, semua potensi tersebut kurang digarap sehingga terkesan merana.

Adhy Asmara dalam buku yang sama menyebutkan, kawasan Pulau Manuk telah ditata menjadi Desa Wisata Romusha Pulau Manuk. Akan tetapi, saat menyusuri kawasan itu, tidak terlihat adanya tanda-tanda tempat itu telah dijadikan desa wisata.

Sejarah romusha di Banten Selatan-seperti sejarah di balik Tembok Berlin (Jerman), kisah di balik Tugu Tiananmen (China), atau cerita kekejaman Nazi di Monumen Kebangkitan 1944 di Warsawa (Polandia)- sebenarnya bisa dijadikan obyek wisata untuk mengenang luka sejarah….

——- kembali ke halaman depan ——-

Pos ini dipublikasikan di 01 Sejarah. Tandai permalink.

16 Balasan ke Jalur KA Saketi-Bayah adalah jalur Death Railway

  1. Bulbul Hasbullah berkata:

    Makasih Kang informasi tentang Jalur Kereta Api Saketi – Bayah, walaupun baynyak korban dalam pembangunannya, alangkah baiknya bila kita lanjutkan atau renovasi kembali Jalur tersebut.Insya Allah Sektor Parawisata nya akan lebih cepat berkembang.
    Salam dari saya, yang memimpikan Kampung kami/Bayah Makmur dan sejahtera

  2. Maz Bow berkata:

    Eh.. ada poto poto ane pas ekspedisi jalur mati saketi bayah.. mantablah ceritanya.. 😀

  3. dudroi berkata:

    terimakasih yang telah mengekpose fakta ini. saya merasa tergugah hati. setelah membaca informasi ini. informasi ini untuk saya merupakan hal yang sangat berharga. walaupun saya dilahirkan di bayah, bahkan tempat-tempat tadi merupakan tempat saya untuk bermain, mencari nafkah. baru kali saya mendapatkan infomasi ini.

  4. dudroi berkata:

    semoga bayah, menjadi kota yang tidak melupakan sejarahnya sendiri. kota yang maju oleh penduduk aslinya. bukan oleh pendatang. mari kawan.kawan yang mempunyai ikatan darah dengan bayah. untuk berfikir agar bayah menjadi kota yang maju dengan tidak melupakan sejarahnya sendiri. mari kita ekspos sebanyak-banyaknya, agar dunia luar tahu potensi yang dimiliki kota yang kita cintai ini. semoga orang-orang yang telah berusaha membuka wawasan tentang bayah memperoleh pahala dari Allloh.Disamping itu semoga unsur pemerintah daerah mau menyisihkan fikirannya untuk memiklrkan wilayah selatan yang penuh dengan potensi yang luar biasa. amiiin

  5. hendra berkata:

    muda2 rute saketi bayah d lanjutkan itung2 melanjutkan para pejuang

    • saketi_asli berkata:

      kalau jadi dilanjutkan kasian penduduk sekitar rel kereta, sudah pasti akan mengalami penggusuran. saya salah satu warga disaketi tepatnya kp. dukuh mukid, lagian sekarang bangunan yg dulunya adalah sebuah stasiun kereta api saketi sudah berpenghuni satu keluarga, alias sudah menjadi sebuah rumah.

  6. eddy berkata:

    mlht 60 tahun lalu miris, sudah sat nya generasi muda kita belajar lbh giat, memajukan bangsa n negara.

  7. Mafaz berkata:

    aku suka Bayah

  8. Kota berkata:

    Wah, ternyata benar cerita ayah kakekku (90 thn) yang pernah menceritakan, bahwa dirinya seorang romusha yg berhasil kabur, bahkan katanya di daerah ci beureum/rawa beureum (yg sekarang di bangun ponpes modern Daar El-Kutub Bayah)…banyak teman2nya yg meninggal lalu di buang di sana..sehingga air rawa menjadi merah,,sejak saat itu di sebut rawa beureum.

  9. andri maja lebak rangkasbitung banten berkata:

    andaikan pemerintah menghidupkan jalur ka rangkas labuaun saketi sektor pariwisata banten selatan akan mengalami peningkatan,akses yang sulit menuju objek pariwisata akan terbantu dengan adanya kereta api sejarah yang hanya di kenang dan di kenal oleh segelintir orang akan kembali terkenang

  10. Indra Ganie berkata:

    JEPANG, (MANTAN) PENJAJAH YANG CENDERUNG TERLUPAKAN

    Oleh : Indra Ganie

    Tulisan ini untuk mengenang 70 tahun (1942 – 2012) awal pendudukan Jepang di Indonesia / Hindia Belanda.

    Saya teringat, ada suatu kisah “kecil” dari Piala Dunia 2010, seakan menjadi hal rutin jika di antara masyarakat kita memilih kesebelasan negara tertentu sebagai pujaan atau jagoannya. Ada menjagokan Spanyol, ada pilih Italia, ada yang pro Jerman dan lain sebagainya. Tak diragukan lagi bahwa sepak bola adalah jenis olah raga yang paling banyak penggemarnya di kolong langit ini. Event yang berkaitan dengan sepak bola semisal Piala Dunia atau Piala Eropa adalah hal yang sangat ditunggu atau dirindu sebagian besar masyarakat di planet ini.

    Ketika pertandingan demi pertandingan dilalui maka semakin semakin banyak kesebelasan yang tersingkir, akhirnya yang maju ke babak final adalah Spanyol dan Belanda. Dan pada akhirnya para penonton – yang tentu saja penasaran – seakan harus memilih satu diantara dua kesebelasan tersebut. Pada titik itu yang menjadi pembahasan masyarakat – termasuk di lingkungan kantor penulis – bukan hanya taktik atau teknik bermain, namun sadar atau tak sadar ada satu hal yang jarang dipedulikan jadi ikut terbawa, yaitu urusan sejarah.

    Penulis mendapat kesan, mayoritas orang kantor memilih Spanyol, apa kesan mereka terhadap Belanda? Tercetus dari mulut beberapa orang berpendapat tentang Belanda semisal, “Huh itu penjajah! Kenapa, atau untuk apa mendukung Belanda?” Seakan terlupakan bahwa sejumlah negara peserta Piala Dunia tersebut adalah (mantan) penjajah antara lain Spanyol, Portugal, Inggris dan Jepang, ini hanya untuk menyebut yang pernah “bertualang” atau “bermain” di negeri yang disebut dengan “Indonesia”. Dan yang menarik penulis adalah, pendapat ketus atau sinis tersebut keluar dari mulut orang-orang yang sama sekali tidak pernah mengalami penjajahan Belanda, tapi mengapa kenangan tersebut (masih) begitu dalam tertanam atau kuat teringat pada benak rakyat Indonesia, termasuk pada generasi yang lahir setelah sekian tahun Indonesia merdeka?

    Butuh waktu lama bagi penulis mencari jawabannya dan kini penulis mencoba menjelaskannya, walau mungkin kurang sempurna.

    Setiap bangsa atau kelompok masyarakat memiliki sejarah dan ingatan bersama (collective memory) tentang apa yang telah dilaluinya di masa silam, tak terkecuali kelompok masyarakat yang disebut “bangsa Indonesia”. Bangsa ini memiliki sejarah yang terbilang panjang – termasuk sejarah penjajahan. Dari sekian fihak yang pernah menjadi penjajah di negeri ini, Belanda adalah penjajah yang paling lama hadir atau bercokol. Inilah yang menyebabkan kenangan bersama yang tertanam dalam atau teringat kuat adalah penjajahan Belanda!

    Jika ingin merenung lebih luas lagi, yang sering dikenang sebagai penjajah adalah Eropa, atau “orang Barat” – dan Belanda adalah termasuk mereka. Maka, Barat identiklah dengan penjajah dengan berbagai istilah semisal “imperialis” dan/atau “kolonialis”.

    Kenangan tersebut agaknya tidak keliru karena dasarnya kuat, Barat memiliki riwayat penjajahan yang lama dan luas. Diawali oleh Yunani, disambung oleh Romawi, kemudian berlanjut oleh Spanyol. Portugis, Inggris, Belanda, Rusia, Perancis, Italia, Jerman, bahkan Belgia – negeri kecil yang berontak untuk lepas dari Belanda juga tak mau ketinggalan. Penjajahan (lagi) oleh Barat yang dimulai pada abad-16 mencapai puncak kejayaannya pada abad-20, saat Perang Dunia-2 dimulai sekitar 80% planet ini dikuasai Barat – dengan bermacam istilah semisal “koloni”, “persemakmuran” atau “protektorat”. Sungguh “malang” nasib Belanda (atau Barat pada umumnya), citra sebagai penjajah tak pernah lenyap dari ingatan. Cenderung terlupakanlah bahwa Indonesia khususnya – kawasan Asia-Pasifik umumnya – pernah mengalami penjajahan yang “bukan Barat”, yaitu Jepang.

    Agaknya Jepang cukup “mujur”, citra sebagai (mantan) penjajah kurang disimak atau diingat. Penjajahan Jepang yang berujung pada kekalahannya akibat Perang Dunia-2 ternyata mengandung hikmah untuk jangka panjang. Penjajahan Jepang yang paling lama adalah diTaiwan – kini dikenal dengan “Republik Cina”, yaitu 50 tahun. Sungguh beda dengan penjajahan Barat, berlangsung selama ratusan tahun – antara lain di Indonesia. Untuk Indonesia, penjajahan Jepang “hanya” berlangsung 3,5 tahun.

    Penjajahan Jepang yang terbilang singkat tersebut makin “tertolong” untuk dilupakan dengan fakta bahwa setelah Jepang kalah, Indonesia kembali mengalami kekuasaan Barat. Walau ada proklamasi kemerdekaan dan penegasan dalam konstitusi bahwa wilayah yang disebut “Republik Indonesia” mencakup bekas wilayah Hindia Belanda, namun dengan begitu cepat kekuatan kolonial Barat – dengan istilah “Sekutu” – yang merupakan gabungan Persemakmuran Inggris dan Belanda kembali hadir dan merebut sebagian besar wilayah yang dituntut sebagai wilayah Republik Indonesia. Kekuasaan Barat yang sempat pulih pada 1945 di bekas wilayah Hindia Belanda baru berakhir pada 1962, ketika Belanda harus melepas Irian Barat. Dengan kata lain, penjajahan Jepang sudah singkat, terjepit pula.

    Fakta tersebut di atas mempengaruhi dunia ilmiah atau akademis, begitu banyak atau relatif mudah menemukan kajian ilmiah, penelitian atau karya tulis tentang penjajahan Belanda / Barat. Begitu sedikit atau relatif sulit menemukan hal serupa tentang penjajahan Jepang. Akibatnya, makin “membantu” memperkuat ingatan bersama bangsa ini tentang penjajahan Barat dan makin mengurangi ingatan tentang penjajahan Jepang. Bagi penulis – yang terbilang gemar sejarah, ada suatu kejenuhan menelusuri sejarah penjajahan Barat dan mulai tertarik menelusuri penjajahan Jepang.

    Bahwa penjajahan Jepang terbilang singkat dan terjepit 2 perioda kekuasaan Barat, bukanlah alasan untuk menganggap bahwa perioda tersebut tidak memberi bekas atau pengaruh pada kita. Warisan penjajahan Jepang begitu dekat – bahkan lekat dengan hidup keseharian kita namun cenderung tidak terasa.

    Pertama, kemerdekaan yang kini kita rasakan sekaligus negara yang kita miliki. Prosesnya tidak terlepas dari pengaruh Jepang. Pembentukan “Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia” dan “Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia” sebagai bagian dari langkah menuju Indonesia merdeka, adalah prakarsa Jepang. Walau jadwal proklamasi kemerdekaan dapat dipercepat dari jadwal yang direncanakan Jepang, jika sudi direnungkan maka sukarlah untuk menghilangkan kesan bahwa Republik Indonesia sekian persennya adalah buatan Jepang. Penyusunan konstitusi yang menjadi dasar penetapan arah, tujuan dan kelengkapan negara jelas berada dalam lingkup 2 organisasi bentukan Jepang tersebut.

    Kedua, sistem keamanan lingkungan yang dikenal dengan rukun warga, rukun tetangga, pertahanan sipil (hansip) – yang kini disebut satuan pengaman (satpam). Jepang yang pertama memperkenalkan konsep tersebut. Ada 2 tujuan sekaligus yang ingin dicapai oleh pemerintah Jepang, sebagai bagian dari pengerahan rakyat semesta melawan Sekutu dan upaya mengawasi masyarakat hingga unit terkecil dari kemungkinan subversi, infiltrasi dan sabotase.

    Ketiga, barang-barang “made in Japan” yang kini merajai pasaran semisal otomotif. Pada zaman kolonial Belanda, mobil buatan Barat merajai jalanan seantero Hindia Belanda – dan tentu saja jumlahnya tidak seramai sekarang. Nah, coba saksikan sekarang, mungkin 99% mobil dan sepeda motor yang “merajalela” di jalanan adalah merk Jepang semisal Toyota, Daihatsu, Honda dan lain-lain.

    Penulis berharap, tulisan sederhana ini merangsang hasrat untuk menelusuri atau meneliti lebih jauh tentang perioda penjajahan Jepang, yang pada gilirannya akan menghasilkan tulisan atau kajian lebih banyak lagi tentang hal tersebut. Penulis menilai bahwa penjajahan Jepang memang singkat tetapi padat. Padat dengan perubahan dan tentu saja padat dengan penderitaan. Sekitar 4.000.000 orang tewas akibat kekejaman dan kelalaian, sungguh tragis dan ironis. Indonesia tak pernah berperang dengan Jepang selama Perang Pasifik (7/12/1941 – 2/9/1945), namun mengalami jumlah korban tewas pada urutan nomor 4 – dibawah jumlah korban tewas yang diderita Polandia yaitu sekitar 6.000.000. Jika Polandia sangat menderita, karena ada perlawanan cukup berat terhadap Nazi. Rakyat Indonesia dibiarkan tak berdaya ketika kolonial Belanda dipaksa menyerah saat Kapitulasi Kalijati 8 Maret 1942 – tanpa perlawanan berarti. Belanda menyatakan perang melawan Jepang namun rakyat Indonesia yang menanggung akibatnya, dan status keadaan perang tersebut masih berlangsung hingga 1958, ketika pemerintah Republik sepakat dengan pemerintah Jepang untuk mengakhirinya. Perjanjian pampasan perang yang merupakan awal terjalin hubungan diplomatik ternyata masih menyisakan masalah. Pampasan perang yang telah dibayar oleh Jepang dengan berbagai skema relatif tidak banyak dinikmati oleh rakyat Indonesia karena praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Belakangan terungkap bahwa perjanjian pampasan perang tersebut belum mencakup segala penderitaan rakyat Indonesia selama pendudukan Jepang (8/3/1942 – 17/8/1945). Dengan berbagai cara pemerintah Jepang mencoba mengelak dari tanggungjawab sejarah yang masih tersisa, atau berusaha memenuhi tuntutan sesedikit mungkin. Makin menyakitkan lagi bahwa pemerintah Republik cenderung diam atau kurang peduli.

    Perlu diketahui pula bahwa penjajahan Jepang tidak berhenti pada tahun 1945. Sejak hubungan diplomatik terjalin, sambil membayar pampasan perang dan memberi bantuan dalam bentuk lain Jepang berusaha mencari peluang untuk mempengaruhi atau menguasai Indonesia secara pelan-pelan. Bantuan Jepang untuk Indonesia sebagian besar adalah berbentuk hutang, yang jelas membebani APBN kita – yang semestinya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.

    Berdasar pernyataan tertanggal 7 Maret 2007 dari Jaringan Anti Penjajahan Jepang – gabungan sejumlah organisasi semisal Arus Pelangi, INFID, Koalisi Perempuan Indonesia, Migran CARE – ada sejumlah perilaku “tak pantas” yang dilakukan Jepang khususnya terhadap Indonesia antara lain :

    Pertama, Jepang berusaha menutupi kejahatan perang selama perioda 1931-45, khususnya pendudukan di Indonesia 1942-5 yang mencakup antara lain pengerahan secara tipu atau paksa secara masal kaum lelaki untuk kerja paksa (romusha) dan perempuan untuk melayani nafsu “bawah perut” lelaki Jepang (juugun ianfu). Buku pelajaran sejarah cenderung “melembutkan” kisah perang yang dilakukan Jepang sekaligus menampilkan citra Jepang sebagai pembebas Asia dari imperialisme Barat.

    Kedua, terkait dengan point pertama, Jepang gigih menolak meminta maaf apalagi memberi ganti rugi yang pantas bagi para korban.

    Ketiga, pemberian bantuan yang sebagian besar dalam bentuk hutang sebagaimana telah disebut di atas.

    Keempat, hibah barang-barang bekas semisal kereta dan bis. Ini tak lebih merupakan politik “buang sampah” berupa barang bekas. Selain tak lepas dari aroma korupsi, untuk jangka panjang perawatan barang bekas tersebut lebih mahal dibanding beli baru, menimbulkan polusi dan sebagai tambahan menurut penulis adalah pelecehan martabat bangsa karena disodori barang bekas.

    Kelima, praktek perdagangan manusia terutama perempuan dengan modus pengiriman tenaga entertainment ke Jepang yang ujung-ujungnya terjerumus ke dunia prostitusi dan penempatan buruh magang yang faktanya dipaksa bekerja penuh waktu dengan tempat yang beresiko relatif tinggi sekaligus dengan upah murah.

    Pada 20 Agustus 2007 diteken kesepakatan kemitraan “Indonesia Japan Economic Partnership Agreement” antara Perdana Menteri Shinzo Abe dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

    Dilihat dari istilah “kemitraan” atau “partnership”, mungkin ada rasa kebanggaan karena dari istilah tersebut terkesan ada kesetaraan antar Jepang dengan Indonesia. Tidak ada yang merasa lebih tinggi atau menganggap lebih rendah satu sama lain. Padahal siapapun tahu siapa Jepang dan siapa Indonesia.

    Dari pengalaman sejarah, bangsa Indonesia pernah membuat perjanjian dengan bangsa asing antara lain perdagangan – dengan segala dampaknya. Perjanjian dengan bangsa lain bukan ha lasing bagi bangsa ini. Namun, tentu harus difahami bahwa setiap perjanjian perlu dipelajari atau dibahas sejauh mungkin untuk kemanfaatan bersama. Tidak ada yang merasa dirugikan. Perihal perjanjian yang merugikan pun pernah dialami bangsa ini, penyebabnya bisa karena ditipu atau bisa juga dipaksa. Boleh dibilang bangsa ini sudah “kenyang” dengan perjanjian macam itu. Contoh jelasnya, penjajahan yang dialami bangsa ini untuk sekian persennya adalah akibat dari perjanjian yang tidak adil atau tidak jujur .

    Terkait dengan IJEPA, menurut tulisan Samsul Prihatno tertangal 20 Agustus 2007 dengan judul “IJEPA Memperkuat ‘Penjajahan’ Jepang Di Indonesia”, ada sejumlah hal yang berpotensi merugikan Indonesia antara lain :

    Pertama, IJEPA adalah bentuk strategi mengamankan energi Jepang terutama untuk gas dan batu bara. Hal tersebut dpat mengancam ketahanan energi Indonesia karena gas adalah sumber daya tak terbarukan. Krisis energi yang saat ini tengah mengemuka dalam politik global hendaknya menjadi pelajaran bagi Indonesia untuk melakukan pengamanan pasokan energi di dalam negeri, untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, pertanian dan industri dalam negeri secara berkelanjutan.

    Kedua, komponen peningkatan kapasitas dan asistensi teknis di dalam hubungan “partnership” ini adalah kepentingan Jepang, di mana segala sesuatunya akan didatangkan dan dikelola oleh Jepang. Sementara itu sifat “partnership” ini tidaklah bersifat “dispute mechanism”, artinya Jepang tidak dapat dituntut bila tidak melakukannya. Sementara kesepakatan lainnya bersifat “dispute mechanism”, di mana pihak Indonesia dapat dituntut bila tidak menjalankan disiplin dalam kesepakatan IJEPA ini.

    Masih ada sejumlah hal lain yang berpotensi merugikan Indonesia namun penulis cukupkan mengutip 2 hal di atas, intinya IJEPA adalah bentuk baru penjajahan Jepang di Indonesia.

    Kesimpulan dari tulisan ini, waspadai perilaku bangsa lain – khususnya Jepang – terhadap bangsa ini. Ingat, ada sekitar 1000 perusahaan Jepang di negeri ini, luangkan waktu meneliti bagaimana keadaan para pegawai bangsa Indonesia. Ingat, Jepang adalah negara donor terbesar bagi Indonesia, cermati bagaimana bentuk bantuan untuk Indonesia. Jangan sampai ada penjajahan jilid 2 dari bangsa mana pun. Indonesia adalah negeri yang menggiurkan karena wilayah luas, alam kaya, letak strategis dan penduduk banyak. Indonesia sejak lama menjadi sumber bahan baku sekaligus sumber pemasaran yang melimpah. Inilah yang diincar oleh penjajah segala zaman.

  11. rizal berkata:

    mudah-mudahan ada jalur ke bayah aminyarobal alamin

  12. setelah saya membaca sejarah jalur kereta api saketi- bayah saya baru mengeti sejarahnya lebih jelas,,,.terimakasih semoga sejarah rel kereta saketi bayah selalu terus di ingat oleh warga bayah hususnya, dan bangsa indonesia pada umumya,,.

  13. Elih Hendartini berkata:

    Bisa jadi kamar saya di rumah ortu di Cisiih tepat di atas jalur KA Saketi-Bayah.. terimakasih info yang dituliskan sangan bermanfaat. Menurut akang ada ga pengaruh pembangunan jalan KA ini terhadap kehidupan penduduk di daerah utara Lebak, terutama Rangkasbitung dan sekitarnya?

Tinggalkan komentar